konstitusi pertama yang telah disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK), yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dengan mengatasnamakan “bangsa Indonesia” dan ditandatangani oleh dua pemimpin bangsa—Dwitunggal Sukarno dan Hatta—menandakan satu tahapan baru dalam sejarah pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan di Indonesia. Sehari setelahnya, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkanIndonesia yang telah merdeka dengan struktur kenegaraan yang telah disahkan, mulai mengonsolidasikan kekuasaannya dengan Republik Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden pun ditetapkan bersamaan dengan UUD 1945, Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Namun demikian, Indonesia yang belum tuntas mengonsolidasikan kekuasaannya, harus menghadapi Sekutu dan NICA yang datang kembali. Sekutu yang sebenarnya hanya menjalankan tugas pascaperangnya, ternyata membawa para elite politik dan tentara yang berasal dari NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Oleh karena itu, Republik Indonesia yang masih amat muda harus mempertahankan kedaulatannya, baik dengan revolusi fisik—bersama TKR dan Laskar-laskar Rakyat—maupun melalui cara politik dengan diplomasi atau perundingan internasional.
Maklumat No. X Wakil Presiden dan Pergeseran Kekuasaan
UUD 1945 yang mengkehendaki sistem pemerintahan presidensial ternyata mendapatkan sorotan negatif, bahkan dipropagandakan dengan masif, oleh Belanda sebagai buatan Jepang, boneka Jepang, dan struktur yang fasisme. Oleh karena itu, sebagai taktik untuk menghadapi propaganda itu semua dan mengakomodasi politik “diplomasi”, Syahrir-Hatta berkolaborasi untuk mengubahnya menjadi sistem parlementer dengan Presiden sebagai Kepala Negara yang bersifat simbolis belaka. Perubahan itu ditandai dengan disahkannya Maklumat No. X Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945.
Maklumat ini mengubah fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semulanya adalah badan penasihat pemerintahan (khususnya Presiden), menjadi badan perwakilan rakyat (parlemen). Maklumat yang diusulkan oleh KNIP ini pun menambahkan kelembagaan baru dalam KNIP, yaitu Badan Pekerja KNIP (BP KNIP) yang akan bertugas sebagai lembaga pelaksana keputusan KNIP.
Pada 17 Oktober 1945, BP KNIP dibentuk dengan 15 orang anggota, termasuk Sutan Sjahrir sebagai ketua. Misi pertama BP KNIP yang ingin dilaksanakan, tetapi terhalang oleh keadaan darurat akibat Sekutu dan NICA sehingga tidak dapat terwujud, adalah pembentukan MPR dan DPR.
Dalam mengondisikan situasi internasional yang masih memandang Indonesia sebagai negara buatan Jepang dan tidak demokratis (kurang lebih masih sama dengan propaganda Belanda), BP KNIP kemudian mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan akses kepada rakyat dalam menyalurkan aspirasi politik melalui partai-partai politik. Ide yang diusulkan ini bertolak belakang dengan visi revolusi Presiden Sukarno yang ingin menggunakan PNI sebagai Staatspartij, sehingga visi revolusi Presiden Sukarno batal. Presiden Sukarno kemudian menyepakati secara tidak langsung sebagai tanggapan atas internasional. Perubahan kedua ini disahkan melalui Maklumat Pemerintah No. X, 3 November 1945. Maklumat tersebut berisi dua hal: Pertama, pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena partai politik dipandang dapat mewadahi segala aliran yang ada dalam masyarakat; Kedua, pemerintah berharap agar partai-partai sudah tersusun sebelum Pemilu DPR yang direncanakan akan berlangsung pada 1946.
Sebagai respons dari rakyat dan pemuda pada masa itu terhadap Maklumat partai politik, muncul kurang lebih 40 partai politik dan partai-partai tersebut berusaha untuk bersama-sama berpartisipasi dalam percaturan politik nasional dan agenda utama, Revolusi Nasional Indonesia.
Perkembangan pemerintahan berdasarkan UUD 1945 ini kemudian berubah drastis menjadi pemerintahan parlementer. Hal itu terjadi pada 11 November 1945, di mana Badan Pekerja mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk membentuk sistem pertanggungjawaban Menteri-menteri kepada Parlemen, yaitu kepada KNIP. Pengumuman Badan Pekerja itu menyatakan:
Seperti diketahui, maka dalam Undang-Undang Dasar kita tidak terdapat pasal, baik yang mewajibkan maupun yang melarang, para Menteri bertanggung jawab. Pada lain pihak, pertanggungan jawab Menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat itu, adalah suatu jalan untuk memperlakukan kedaulatan rakyat. Maka berdasarkan alasan tersebut, Badan Pekerja mengusulkan kepada Presiden untuk mempertimbangkan adanya pertanggungan jawab itu dalam susunan Pemerintahan. Presiden menerima baik usul Badan Pekerja, hingga dengan persetujuan tadi dimulai adanya pertanggungan jawab para Menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat dalam susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Seperti diketahui, maka dalam Undang-Undang Dasar kita tidak terdapat pasal, baik yang mewajibkan maupun yang melarang, para Menteri bertanggung jawab. Pada lain pihak, pertanggungan jawab Menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat itu, adalah suatu jalan untuk memperlakukan kedaulatan rakyat. Maka berdasarkan alasan tersebut, Badan Pekerja mengusulkan kepada Presiden untuk mempertimbangkan adanya pertanggungan jawab itu dalam susunan Pemerintahan. Presiden menerima baik usul Badan Pekerja, hingga dengan persetujuan tadi dimulai adanya pertanggungan jawab para Menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat dalam susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia.