Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

September Kelam: Tragedi Kemanusiaan, Pelanggaran HAM, dan Perjuangan Aktivis di Indonesia

15 November 2024   18:57 Diperbarui: 15 November 2024   19:11 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:AHNasution1965.jpg

Singkatnya, G30S dijadikan dalih dan engakibatkan tertuduhnya PKI sebagai dalang. Hal ini berimbas pada pelarangan ideologi marxisme-leninisme di Indonesia, pembubaran PKI, dan berlanjut pada tindakan pembantaian. Merujuk pada laporan majalah Tempo yang dibukukan dengan judul Pengakuan Algojo 1965, ada tiga versi jumlah korban pembantaian.[6] Pertama, tim investigasi bentukan Presiden Sukarno yang dipimpin oleh Menteri Negara Oei Tjoe Tat menyatakan bahwa korban sebanyak 78 ribu. Data ini diulik dengan intervensi militer, sebab pada masa itu kekuatan militer sudah mendominasi pemerintahan. Kedua, aktivis kiri menyatakan 2 juta orang terbunuh. Ketiga, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (sekarang Kopassus), Sarwo Edhi Wibowo, mengatakan setidak-tidaknya 3 juta orang terbunuh. Perbedaan antara aktivis kiri dan militer adalah salah satu persoalan dari latar belakang peristiwa ini. Aktivis kiri ingin membesarkan angkanya agar tergambarkan betapa kejamnya pembantaian tersebut, sedangkan militer memiliki angka besar diduga sebagai alat legitimasi tindakan pembantaian, dengan menekankan paham komunis adalah berbahaya, sudah sangat menjamur, dan membahayakan keutuhan bangsa dan negara.

Dalam hal ini, tidaklah mungkin bila pembantaian besar-besaran seperti ini dilakukan oleh kekuatan yang lemah, pasti dilakukan oleh kekuatan yang besar dan alat-alat yang begitu lengkap juga. Proses pembantaian ini dilakukan oleh militer dengan dibantu oleh civil society. Perestuan oleh negaralah yang mendorong kekuatan sipil ikut serta membantu tindakan pembantaian kader PKI dan simpatisannya. Selain itu, warga sipil yang ikut serta dalam proses pembantaian dan pemberangusan didominasi dari kalangan agamais. Hal itu disebabkan mereka memiliki background yang tidak pernah sejalan dengan politiknya PKI.

Dalam pembantaian besar-besaran ini, titik persoalannya terletak pada pembantaian yang dilakukan tanpa adanya penyelidikan dan penyidikan, apakah benar-benar kader, atau terafiliasi, atau juga simpatisan. Mereka dibunuh dengan jalur komando, di mana ketika pemimpin melakukan kesalahan, bawahannya---yang sebenarnya tak tahu-menahu---harus dihukum juga. Termasuk mereka di desa-desa, yang ikut BTI (Barisan Tani Indonesia), atau Gerwani dan sebagainya, hanya untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya, harus diberangus dan dipenggal kepalanya. Padahal mereka tidak tahu apa-apa, mereka tidak pernah mengikuti rapat CC PKI, itu pun kalau apa yang dituduhkan Soeharto memang benar bahwa PKI melakukan kudeta. Baca kembali penelitian terbaru, tindakan Soeharto bisa disimpulkan sebagai kontrarevolusi.

Tak heran bila banyak warga sipil yang apes dan menjadi korban "salah bunuh". Terlebih lagi, proses pembantaian atau pembunuhan dilakukan tanpa proses pengadilan. Tindakan pembantaian juga disertai oleh penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, serta penghilangan paksa.

Dampaknya pun didapat oleh keluarga yang mereka tinggali. Keluarga dicap sebagai antek-antek komunis dan mendapatkan sanksi sosial. Cap komunis dijadikan sebagai alat untuk memberangus kritik. Mereka yang protes terhadap ketidakadilan Orde Baru-nya Soeharto, adalah PKI dan komunis. Salah satu contohnya adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik yang didirikan oleh Budiman Sudjatmiko.

Tidak hanya itu, mereka yang dicap antek komunis atau eks tapol (mantan tahanan politik) dikucilkan di masyarakat, diperlakukan sangat diskriminatif. Bahkan, banyak dari mereka yang sampai sulit mencari pekerjaan yang layak.

Tragedi kedua adalah Tragedi Tanjung Priok. Tragedi ini merupakan salah satu tragedi terbesar pada masa pemerintahan Orde Baru. Tragedi ini berawal dari diberlakukannya asas tunggal pancasila oleh pemerintah. Sebagai tanggapan terhadap kebijakan fasismenya Soeharto ini, banyak kalangan agamais-kanan menolak kebijakan tersebut. Timbulah ceramah yang dianggap subversif oleh pemerintahan Orde Baru. Salah satunya disuarakan oleh ulama Tanjung Priok, Abdul Qodir Jaelani (AQJ).[7]

AQJ kemudian ditangkap dengan dugaan telah melakukan tindakan subversif. Dengan demikian, masyarakat TAPI yang pro terhadap AQJ melakukan aksi demonstrasi agar AQJ dapat dibebaskan. Sejak saat itu, mulai muncul percikan-percikan konflik. Perkembangan peristiwa selanjutnya, musala di TP juga dipasangkan pamflet berupa tulisan. Tulisan tersebut, kemudian, dianggap sebagai tindakan subversif oleh pemerintah. Babinsa yang bertugas di sana mencoba menghapusnya. Akan tetapi, berdasarkan laporan Tirto.id, Babinsa tersebut menyiramnya dengan air comberan agar terhapus. Babinsa tersebut masuk musala untuk menghapusnya dengan tidak melepaskan alas kaki. Tindakan Babinsa ini mendapatkan respons yang begitu penuh kemarahan dari empat orang warga. Dengan delik melawan aparat, empat orang warga ini ditangkap dan ditahan di kantor polisi.[8]

Kabar mengenai tindakan Babinsa dan ditangkapnya warga tersebut pun tersebar di kalangan warga TP. Alhasil, warga TP merasa sangat geram dan melakukan aksi demonstrasi agar empat warga yang ditangkap dapat dibebaskan.

Demonstrasi inilah yang mendapatkan represifitas aparat keamanan, bahkan oleh militer. Tidak perlu begitu kaget, sebab pada masa Orde Baru, militer memiliki kedudukan yang "begitu banyak" dengan doktrin Dwifungsi. Tak lama dari peristiwa demostrasi ini, Militer dengan truknya datang dengan senjata laras-panjang segera memberondong demonstrasi warga.

Panglima ABRI kala itu, L. B. Moerdani, mengatakan bahwa korban berjumlah 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka. Namun, berbeda dengan data Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang menyebut terdapat 400 orang tewas. Jumlah ini pun belum termasuk korban yang hilang dan luka-luka dari hasil investigasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun