Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Raket

Marhaenisme: Sumbangan Sukarno untuk Rakyat Indonesia

20 Mei 2024   10:00 Diperbarui: 20 Mei 2024   10:03 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Sukarno berupaya keras untuk merumuskan permasalahan konkret yang dialami oleh bangsa Indonesia. Analisis yang dilakukan oleh Sukarno membuahkan hasil berupa permasalahan kesengsaraan yang terjadi pada rakyat Indonesia yang hidup di bawah penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda. 

Sukarno mencoba melihat dan mempelajari sejarah Indonesia secara mendalam, yang mengakibatkan suatu kesadaran akan realitas kehidupan bangsa Indonesia yang sangat berketimpangan antara kelompok minoritas yang kaya dengan mayoritas rakyat sebagai kelompok yang miskin. Berdasarkan buku Renungan Bapak Marhaen Indonesia, kurang lebih 92% dari rakyat Indonesia pada masa kolonial hidup dalam keadaan yang miskin. Hal itu diakibatkan tidak lain karena sistem kolonialisme dan kapitalisme yang dicangkok oleh Belanda ke Indonesia. Atas dasar penderitaan akan kemiskinan itulah timbul keinginan Sukarno untuk memberontak, dengan suatu kesimpulan bahwa jika penjajahan berhasil terhapus, akan mengubah kehidupan rakyat menjadi lebih sejahtera.

Bermula sejak abad ke-17 dimulai, Belanda telah melakukan penguatan dalam satu persaingan perdagangan dan memonopoli perdagangan Indonesia sejak 1602. Melalui Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC, kamar dagang atau perusahaan multinasional yang memiliki hak serupa dengan sebuah negara, Eropa asal Belanda memulai perdagangan-perdagangan dengan tindakan berbentuk kekerasan, paksaan, dan tipu daya untuk mendapatkan hasil bumi yang nantinya juga hanya dijual kepadanya dan menguntungkan mereka saja. VOC melakukan monopoli pasar bukan membeli dengan harga murah saja, melainkan juga berkuasa untuk menentukan harganya sendiri.

Untuk memuluskan kekejaman dan penjajahannya, Belanda menggunakan kaum-kaum feodalis Indonesia, mulai dari yang tertinggi sampai yang paling rendah dijadikan kaki-tangan oleh VOC atau pemerintahan Hindia Belanda pada masa setelahnya. Berangkat dari permanfaatan kaum feodalis ini, Indonesia menjadi tidak memiliki suatu kelas borjuis yang berkuasa, kekuasaan tinggi di masyarakat hanya kaum feodalis, itu pun sudah menjadi kaki-tangan Belanda. Kaum feodalis terpelajar yang memiliki kesadaran akan pengetahuan Eropa setelah kebijakan Politik Etis, barulah menjadi sumber dari pergerakan kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia pada masa 1908.

Pada masa kolonial Hindia Belanda itulah, lahir suatu kelas baru yang tidak dapat disebut sebagai proletar saja, sebab kelas baru itu masih memiliki alat produksi. tetapi hidup dalam kondisi yang serba kesusahan. Sukarno memberikan nama kelas itu sebagai "Marhaen", yang terdiri dari kaum proletar, kaum tani melarat, dan golongan melarat atau kelas kecil lainnya. 

Dapat disimpulkan kelas marhaen adalah kelas yang diperas oleh Belanda, kelas yang telah menjadi korban, kolonialisme, feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme. Kelas yang tidak hanya berisi proletariat saja, tidak hanya berisi kaum buruh saja, tetapi kelas yang berisikan kaum-kaum miskin melarat. Dengan kata lain, marhaen adalah kelas yang berisikan orang-orang yang mempunyai alat produksi, tetapi hidupnya disulitkan secara struktural oleh penguasa.

Marhaenisme bermula ketika Sukarno sedang mencari kata yang dapat menjelaskan kelas rakyat Indonesia untuk dia persatukan. Berkaca pada propaganda PKI yang menggunakan istilah "orang kecil" untuk kaum proletar, Sukarno berbeda pandangan, Sukarno berpikir bahwa rakyat yang miskin bukan hanya golongan proletar saja, melainkan hampir keseluruhan rakyat Indonesia dalam kemiskinan akibat adanya kapitalisme dan kolonialisme.

Rakyat pada masa itu sebagian besar adalah pekerja kecil. Maka dapat dikatakan, mereka masih memiliki alat produksi sendiri. Katakanlah seorang kusir yang memiliki dokar dan kuda, seorang petani yang mempunyai satu petak sawah, seperti juga nelayan yang punya pancing, jala, dan perahu miliknya sendiri. Akan tetapi, alat produksi itu sedemikian kecil sehingga hanya cukup untuk sekadar menopang hidup sebulan atau dua bulan, bahkan hanya seminggu saja. Terlalu kecil untuk bisa menaikkan harkat sosial, politik, atau ekonominya sebagai individu. Yang mana intinya, menurut Sukarno mereka bukan proletar sebagaimana sering disebut para aktivis komunis kala itu.

Istilah Marhaenisme bermula ketika Sukarno sedang bersepeda di Desa Kidulen Cigelereng, Bandung. Ia berjumpa dengan seorang petani yang sedang mengerjakan sawah kepunyaannya sendiri, dengan menggunakan alatnya sendiri. Sukarno langsung merenungkan nasib petani tersebut, ia tidak dapat disebut sebagai proletar sebab ia tidak menjual tenaganya saja, ia juga masih memiliki alat produksi. Meskipun demikian, nasib petani tersebut masih dalam taraf kemiskinan. Selanjutnya, Sukarno menanyakan namanya, yang dijawab oleh petani tersebut dengan nama “Mang Aen”. Berdasarkan peristiwa pertemuan tersebut, Sukarno mendapatkan "ilham" untuk menggunakan namanya sebagai gambaran dari amanat penderitaan rakyat Indonesia. 

Versi lain dari penamaan Marhaenisme dikatakan oleh Peter. A. Rohi sebagai seorang tokoh Sunda yang bernama Aeng. Peter menduga bahwa Sukarno mengubah nama Aeng menjadi Marhaen untuk kepentingan simbol politik. Impresi yang timbul dari “Aeng” dan “Marhaen” memang berbeda. Sukarno mungkin telah melakukan dramatisasi sebuah pengalaman, tetapi itulah caranya menciptakan simbol politik yang sedemikian kuat dan berpengaruh pada perjuangan politiknya.

Versi lainnya lagi adalah penghalusan paham marxisme versi Sukarno dengan mengubah namanya menjadi Marhaen. Dengan mengambil nama Marx dan Engel sebagai suatu singkatan sehingga menjadi Marhaen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun