Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pelaksanaan Demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta

17 Desember 2020   00:55 Diperbarui: 18 Desember 2020   00:17 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berikut ini Indeks Demokrasi Yogyakarta dari tahun 2010-2019, masih dalam kategori "baik".

Sistem ketatanegaraan di Indonesia sudah lama mengadopsi prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi. Hal tersebut tercermin dalam UU Otonomi Daerah dan UU Otonomi Khusus (Keistimewaan). Tidak hanya dalam undang-undang tersebut, tetapi juga keotonomian  daerah di Indonesia sudah tercantum dalam UUD Tahun 1945 Amandemen Ke-2 Pasal 18 Ayat 1—7, Pasal 18A Ayat 1 dan 2, serta Pasal 18B Ayat 1 dan 2. Tercantumnya asas-asas otonomi daerah dalam UUD 1945, konstitusi Republik Indonesia, menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia menerapkan sebuah desentralisasi wilayah administrasi dan dekonsentrasi kekuasaan.

UU Otonomi Daerah ini diperkhusus lagi menjadi UU Otonomi Khusus untuk beberapa daerah, seperti Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, NAD, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, pemerintahan yang berjalan terlihat begitu berbeda. Penyebab terjadinya perbedaan signifikan pada ketatanegaraan di Yogyakarta adalah masih diakuinya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Sultan dan Adipati yang menjadi pemimpin dari wilayah tersebut.

Status dari Yogyakarta ini dilatarbelakangi oleh kedudukan hukum daerah Yogyakarta yang berdasarkan hak asal-usul dan sejarah. Hak asal-usul yang dimaksud adalah hak yang menyangkut struktur lembaga, prosedur pengangkatan dan penghentian pemimpin, dan penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan di wilayah Yogyakarta. Dari segi sejarah, Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualaman VII yang memiliki wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ini menyatakan bergabung menjadi bagian dari NKRI yang diterima langsung oleh Presiden Soekarno. Kekhususan daerah Yogyakarta terjadi juga berdasarkan UUD 1945 Pasal 18B Ayat 2, yang berbunyi, “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Maka dari itu, secara yuridis, Kesultanan Yogyakarta masih berdiri dan menjadi bagian dari NKRI, yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Statusnya yang sampai sekarang menjadi sebuah kerajaan menjadikan penetapan kepala daerah Yogyakarta tidak demokratis. Berdasarkan UU Keistimewaan, kepala daerah diangkat dari Sultan atau Raja yang merajai wilayah Yogyakarta. Berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Wilayah Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwuno sebagai gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai wakil gubernur Ketika ia turun takhta, untuk kepemimpinan berikutnya jatuh kepada putra mahkota yang ditetapkan raja sebelumnya.

Jika melihat dari cara penetapan kepala daerahnya, Yogyakarta memang sangat tidak demokratis. Akan tetapi, berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia 2019 No. 50/08/34/Th XXII, demokrasi di Yogyakarta tercatat sebesar 80,67. Walaupun angka tersebut menunjukan penuruan 0,15 poin dari tahun sebelumnya, ini merupakan hal yang baik untuk wilayah yang masih bersifat feodal dalam pemerintahannya. Adapun yang mengalami penurunan, yaitu hak-hak politik. Sedangkan, untuk aspek kebebasan sipil dan aspek lembaga-lembga demokrasi menunjukkan peningkatan dibandingkan aspek lainnya.

Dewasa ini, Yogyakarta masih dalam kategori baik dalam pelaksanaan demokrasi, tetapi perlu mendapat perhatian serius sebab angka tersebut mendekati ambang batas bawah kriteria “baik”.

Saat Raja Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X menggelar sapa aruh tentang mengolah kritik dan menata desa sebagai basis keistimewaan yang bertepatan dengan delapan tahunnya berlaku UU Keistimewaan, beliau menyampaikan satu pesan. Pesan yang disampaikan beliau berupa sejarah adanya UU Keistimewaan dan demokrasi khas Yogyakarta.

“Proses ini layaknya ‘ijab kabul, ikatan batin ‘sehidup-semati’ antardua pihak setara yang tak bisa diputus secara sepihak. Peristiwa itu juga bisa dimaknai sebagai pergeseran peradaban monarki ke demokrasi. Sebuah bentuk demokrasi khas Yogyakarta, yang di Barat disebut Demokrasi Deliberatif,” katanya saat memberi sambutan di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta, kala itu.

Demokrasi khas Yogya yang dikatakan Sultan dapat diejawantahkan ketika melihat rakyat Yogyakarta yang begitu menghormati sisi sejarah kotanya, mengakui Kesultanan Yogyakarta yang sampai hari ini mengayomi mereka, dan keikutsertaan rakyat Yogyakarta dalam memberikan kritik dan saran terhadap pemerintahan di bawah komando Sultan Hamengkubuwuno X.

Dalam acara tersebut Sultan menyebut betapa pentingnya peran Organisasi Perangkat Daerah, ditambah dengan peran keikutsertaan masyarakat berupa pengajuan dan pengaduan. Sultan melanjutkan, dengan introspeksi-kritis, mengharuskan setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memiliki kelapangan dada terhadap kritis-konstruktif dari masyarakat. Birokrasi yang tidak dinilai antikritik, tetapi setidaknya membukakan ruang dialog aspiratif. Persoalannya juga ada pada transparansi dan akuntabilitas, padahal pemerintah sudah menjamin dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam pelaksanaannya, Pemda DIY juga berusaha menghadirkan negara sedekat mungkin dengan rakyat melalui bansos atau bantuan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun