TAKDIR?
Seperti hari-hari lain sebelumnya, dan mungkin sedikit sesudahnya. Seorang tua duduk dan memandangi tempat mobil-mobil menggelindingkan kaki-kaki mereka, memecah keheningan pagi yang masih belum sempat menyapa. Pagi sekali mereka berebut klakson, menutupi suara hembusan angin pagi. Jalanan dipenuhi orang-orang yang saling mendahului agar menjadi yang terdepan guna mengisi hari-hari mereka yang melelahkan. Begitu pula dengan para penyedia kebutuhan berkaki lima yang hendak mengais rupiah. Pagi buta mereka bersiap di tepi jalan, mempersempit luas aspal yang tersedia. Asap mengepul menghitamkan langit cerah, menyelimuti pencakar-pencakar langit. Tak luput asap kendaraan yang menyebar kesegala penjuru kota.
Semuanya ingin diuntungkan, saling berebut sisa ruang yang ada agar tujuannya segera terpenuhi. Deretan panjang pun tak terkelakkan, aspal jalan tertutup tak terlihat seakan menjadi sesuatu yang harus ada di tiap pagi menjelang. Memanaskan pagi yang masih menawarkan kesejukan. Tak ada satu pun yang bertindak. Semuanya terdiam bagai tak ada sesuatu yang aneh terjadi.
Satu dua kedai makanan di belakang orang tua itu memulai aktivitasnya. Mengundang orang dengan suara radio yang menggema hingga ke seberang jalan.
“….pemerintah dianggap lalai dalam mengatasi permasala…..”
Tak begitu jelas terdengar oleh orang tua itu. Hanya satu-dua patah kata yang melintas di telinga yang berkurang kemampuannya akibat penuaan dan akibat sebuah benturan keras karena terhempas saat terkena tembakan roket.
Seorang pemuda berbaju kusut bersepeda diantara hiruk-pikuk keramaian jalan, membagikan tumpukan kertas berisi komentar, kritikan, dan hujatan yang tiada memberi perubahan. Tiada pula memberi jera, hanya sebagai penghibur kaum-kaum tua yang belum bisa menerima perkembangan zaman.
Lelaki tua itu tersenyum. Senyum getir yang mulai menghiasi wajahnya, setelah suara-suara radio itu mulai merasuk ke dalam telinganya, setelah ia meratapi tumpukan kertas yang terlempar tak jauh di depannya. Senyum pahit yang mungkin hanya dapat dimengerti segelintir orang mengenai artinya.
“Ah, masa-masa itu…”
***
Langit mendung dengan asap mengepul. Debu-debu di jalanan beterbangan tertiup angin. Gedung-gedung kusam berdiri kokoh di pinggir jalanan lenggang. Jam yang tergantung di tengah perempatan masih menunjukkan pukul 6.30 pagi. Beberapa kotak baja dengan roda-roda gerigi mereka telah memenuhi jalanan dengan moncong senjata mengarah ke udara. Diikuti di belakangnya oleh puluhan pria berbadan tegap berseragam serta bersenjata. Mereka berbaris rapi, dengan sedikit berlari kecil. Jalanan penuh untuk beberapa saat.
Suara radio yang berasal dari gedung-gedung di seberang jalan menggelegar hingga ke ujung jalan. Langit mendung dihiasi selebaran-selebaran kertas yang beterbangan. Selebaran kertas yang membawa perubahan.
“Allahu akbar, Allahu akbar. Berjuang sampai titik darah penghabisan!”
“Pantang menyerah demi tumpah darah!”
MERDEKA ATAOE MATI!
NKRI HARGA MATI!
***
Tak banyak yang dilakukan orang tua itu. Duduk menatap jalan dengan baju yang telah melekat pada tubuhnya sejak 5 hari lalu, ditemani tongkat yang telah menemainya semenjak kakinya tidak bisa menopang tubuhnya akibat peristiwa 71 tahun silam. Beberapa orang melintas di hadapannya. Sebagian yang merasa memiliki belas kasihan, tanpa diminta, melemparkan koin tepat di hadapan orang tua itu.
“Ada apa dengan negeri ini?” gumam orang tua itu.
“Masa depan bangsa ini...”
Orang tua itu tersenyum kembali. Senyum yang kian mencuat dan lebih lebar dari senyum-senyum sebelumnya.
Ia menghela napas panjang dengan mata terpejam.
“Masa depan bangsa ini ada di tanganmu!”
***
“Bangun, bangun, bangun! Ambil semua peralatan dan segera bersiap. Nippon bergerak dari utara dengan tiga tank dan tiga ratusan pasukan!”
Seratus orang yang masih terlelap seketika berdiri dan bersiap. Semuanya berbaris rapi tanpa perintah.
“Segera berlari menuju kamp bawah tanah utama! Jumlah kita tak sebanding dengan musuh.”
“Siap!”
Tanpa banyak bertanya, segera keseratus pasukan itu beranjak menuju enam mobil yang telah bersiap diluar markas, menurut pleton masing-masing. Kendaran-kendaraan itu melesat meninggalkan markas. Kapten markas batas-2 duduk di kursi paling belakang di samping tentara berusia 18 tahun dengan tulisan Balian yang tertempel di atas saku dada pakaiannya.
“Maaf kapten, mengapa pagi-pagi sudah bergegas?”
Kapten menoleh padanya, serentak mendorong tubuh pemuda itu lalu menahannya dan menatapnya tajam.
“Markas batas-1 di utara hancur tak bersisa. Semua habis selagi masih tidur! Kita tak ingin menghamburkan manusia bukan? Kantor pusat menginformasikan, jarak markas kita dengan pasukan Nippon tinggal beberapa…”
Buumm…..
Kendaraan paling akhir meledak dan terlempar beberapa satuan jarak, tak ada yang selamat. Sontak pasukan didepannya menoleh. Muka terkejut menahan amarah muncul ditiap tentara di atas mobil itu. Asap hitam pekat mengepul dari mobil yang hangus tadi. Tank dari puncak bukit mulai menampakkan wujudnya. Ratusan pasukan muncul setelahnya. Mereka mulai berlarian menuruni bukit seraya menembakkan peluru ke arah rombongan kendaraan yang tengah berlari. Mobil-mobil itu menaikkan lajunya. Dengan cepat pasukan di kap belakang membalas tembakan yang dilontarkan pasukan lain dari bawah bukit.
“Tembak dengan seperlunya! Markas utama masih jauh di depan!”
Satu mobil dibelakang berhenti.
“Mengapa kalian berhenti?” dengan teriakan yang cukup keras
“Zet…..zet…… Lapor kapten. Maaf karena telah menjadi bawahan yang bodoh. Anda terus saja, jangan biarkan kami berakhir sia-sia. Saya dan pasukan telah berpikir dengan matang. Zet… zet…”
“Zet… zet… Baiklah demikian, itu keputusan kalian. Lakukan yang menjadi kewajiban kalian kepada negara!”
“Tapi kapten” teriak tentara di sebelah kapten itu.
“Kau harus tahu anak muda. Terkadang, untuk mendapatkan kemenangan diperlukan pengorbanan.”
Empat mobil di depan melesat meninggalkan mobil yang berhenti, mobil yang melindungi mereka di belakang dari serangan pasukan musuh. Kendaraan yang mereka tumpangi semakin menepi, menjauh dari jalan beraspal. Memasuki jalan setapak di tengah perkebunan menuju hutan belantara. Jalan lurus akan lebih cepat daripada memutar.
Sehari sebelumnya hujan deras membasahi kawasan itu, membuat jalan setapak berlumpur dan basah. Tak diduga mobil yang ditumpangi pasukan itu tak sekuat yang menumpanginya. Mereka terjebak di kubangan lumpur. Mesin-mesin yang kemasukan lumpur itu tidak mau lagi menyala. 2 mobil tak bisa lagi membawa pasukan itu. Tidak ada suatu apa pun yang bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan markas pusat. Sisa prajurit terpaksa berdempetan untuk saling berbagi ruang. Mobil yang masih berfungsi memutar ke arah lain, sedang yang bobrok dibiarkan begitu saja. Toh, musuh juga sudah tahu kalau mobil yang berhasil lolos sejumlah empat.
Tak kuasa menahan beban dengan 33 orang dari 2 pleton pada tiap mobil. Kapten yang takut tidak memiliki kartu as lagi, memutuskan untuk melanjutkan pelarian dengan berjalan.
Terik mentari di pagi hari di antara pepohohan yang tinggi menghangatkan tubuh pasukan itu. Daun-daun melambai menyejukkan kumpulan tentara yang sedang berbaris rapi. Burung-burung berkicau merdu di sela-sela dahan pepohonan.
Ketenangan itu tak berlangsung lama setelah terdengar suara tembakan dari balik pohon-pohon. Diangkatlah senjata mereka dengan raut muka bersiaga. Pasukan musuh dengan cepat menyusul mereka. Bahkan musuh taksedikit pun berpikir merebut markas yang telah ditinggalkan hanya untuk sekedar beristirahat sejenak.
“Sebagian naik ke atas pohon! Tembak mereka dari ketinggian!”
Beberapa mengikuti perintah, sisanya menyerang dari bawah. Pasukan musuh kualahan menghadapi tembakan pasukan dari atas. Sisa tentara Nippon yang selamat berlari menjauh. Mereka menang sejenak. Seakan memberikan angin sejuk kepada mereka. Wajah bahagia mereka dengan sedikit rasa sombong mencuat.
Tak kehabisan akal, kartu as pun dikeluarkan. Tank pasukan Nippon muncul dari balik kerimbunan hutan. Bahkan, tak sedikit pun terlihat oleh yang memanjat pohon. Raut muka mereka berubah seketika. Raut muka terkejut berlanjut menjadi tanpa asa. Tank-tank itu menembaki pohon-pohon hingga tak bersisa. Pasukan yang berjuang dibawah tidak luput dari serangan tank yang tidak kenal ampun. Tubuh tentara yang tertembak tank tercerai-berai. Banyak yang menjadi korban pada pertempuran kali ini.
Kapten yang selalu berada di belakang Balian memerintahkan pasukannya untuk segera menaiki dua mobil yang tersisa. Dengan cepat mereka menancap gas.
Roket dari sebuah tank meluncur lebih cepat dari mobil-mobil yang dikejarnya. Satu mobil tertembak, terpental jauh tanpa menyisakan seorang pun. Suasana makin mencekam. Dengan memasang ekspresi tidak percaya, pasukan berpenampilan lusuh ini tak memiliki secuil pun harapan untuk berhasil lari dari pengejaran.
Kejutan itu belum selesai. Muncul beberapa mobil kap lengkap dengan pasukan bersenjata di atasnya. Beberapa tentara yang berlari berbalik arah. Ditumpanginya kendaraan itu oleh tentara tersebut dan segera melaju menyusul. Sebagian besar panik, termasuk sopir. Musuh dalam jumlah besar mendekat dengan cepat.
“Jangan lihat belakang, perhatikan saja arahmu! Kemudikan dengan benar!”
Dibalikkan badan tegapnya menghadap pasukan di belakang. Dengan mengangkat STG 44 buatan Jerman menggunakan tangan kanannya, ia menyeringai penuh harap.
“Semua yang di atas, angkat semua senjata yang kalian punya! Buat bangga saudara kalian! Jangan biarkan nyawa berhaga mereka sia-sia!”
Mereka menghujani tentara Nippon dengan peluru-peluru dari atas kap mobil. Tentara Nippon yang tidak mau kalah, balik menghantam mereka dengan peluru dari Machine gun dari atas kendaraan mereka. Saling sahut peluru tak terkelakkan sekalipun mereka telah pergi jauh meninggalkan hutan. Tak ada korban jatuh setelahnya. Tersisa 19 orang di atas mobil yang melaju menuju markas pusat.
Sang kapten sadar bahwa kemunculan tiba-tiba itu bukanlah akibat keajaiban. Namun, karena sebuah siasat yang telah membuat pasukannya terleha-leha dan bersantai.
Sampailah mereka di jalan beraspal, masih dengan peluru yang saling ditembakkan kesana-kemari. Hingga terdengar suara gemuruh bergerak mendekat. Suara gemuruh dari putaran baling-baling baja, yang tidak tahu dari mana asalnya. Masih simpang-siur kepada siapa helikopter itu memihak.
Mobil terus melaju hingga sampai di tengah sebuah jembatan besar. Terjawablah kepada siapa helikopter itu memihak. Mereka meluncurkan roket kearah jembatan yang Balian beserta rekannya berada di atasnya. Mobil yang mereka tumpangi terpental melemparkan orang-orang di atasnya. Setengah jembatan mulai runtuh. Pasukan yang selamat berusaha berlari menjauh. Namun dihadang di sisi lain jembatan oleh helikopter musuh. Tak sedikit pun mereka berkutik. Balian yang tubuhnya tergantung di antara jembatan yang hendak roboh berpegangan pada kapten.
“Teruslah berenang! Arus ini akan mengantarmu ke tempat tujuan kita”
“Tapi kapten!”
“Nasibku dan semua saudaramu kini digenggamanmu.” “Kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
“Kapten”
“Balian!” Ia menoleh.
“Masa depan bangsa ini ada di tanganmu!”
Ia melepas pegangannya pada Balian dan membiarkannya terbawa arus sungai.
***
Orang tua itu selalu tersenyum ketika mengingat kejadian itu. Sejenak setelah ia meratapi semua hal yang terjadi, ia meluangkan sedikit waktu. Berbicara kepada dirinya sendiri.
“Benarkah yang telah kulakukan, pengorbananku selama ini? Jika akhirnya begini?”
“Siapa yang harus bertanggung jawab?”
Terakhir, jika kau bertanya bagaimana orang tua itu berhasil kabur dari penangkapannya, itu adalah sebuah keajaiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H