Mohon tunggu...
Daffa Binapraja
Daffa Binapraja Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir pada 25 Februari 2000, Jakarta Utara

Seorang pemuda yang menyukai fiksi ilmiah, Alternate History, dan sejarah dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepekan Kemudian di Konstantinopel

4 April 2020   21:00 Diperbarui: 4 April 2020   21:16 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Janus, itulah namaku. Janus si Pedagang Roti, itulah panggilan yang lekat padaku.

Ya, sudah lama aku hidup seorang diri. Yatim piatu, anak semata wayang.

Baru saja “orang-orang sabit” itu muncul di depan Hagia Sophia sepekan lalu, menjanjikan kebebasan beribadah walau kekuasaan kota sekarang dipegang oleh kumpulan orang......Turki, ya, jika aku tak salah?

Ya, “Kekaisaran” Turki. Prajuritnya berseragam merah dan pemimpin pasukan memakai surban putih. Lambang sabit selalu berada entah di seragam atau bendera mereka.

Kalian, para pembaca kisah ini, mau mendengar pendapatku mengenai keberadaan mereka, ya? Baiklah, aku bicara jujur saja pada kalian: Rasanya rumit untuk membahas mereka.

Di satu sisi, mereka adalah orang-orang yang membunuh Ayahku. Beliau seorang pemanah tembok dan menurut kabar yang ada, beliau ditebas habis oleh pedang pasukan “orang-orang sabit” dengan keji. Siapa yang takkan marah begitu tahu anggota keluarga mereka dibunuh orang?

Di sisi lain, mereka adalah satu-satunya pihak yang peduli kepada masyarakat kecil, terutama yatim piatu dan kaum papa. Aku adalah salah satu orang yang diuntungkan dari segi ekonomi akan kehadiran mereka, merekalah yang membayar hutangku pada Immanuel si lintah darat. Dia selalu memaksaku membayar ‘upeti’ lebih tinggi dari jumlah yang kupinjam.

Pinjaman terakhirku 3 bulan sebelum pertempuran adalah 20 drachma untuk modal usaha. Kemudian, dia ‘memintaku dengan baik hati’ untuk membayar hutang sebesar 200 drachma, sepuluh kali dari apa yang harusnya kubayar hingga daganganku selalu dibuang olehnya tiap kali aku meminta keringanan pembayaran darinya.

Sebagai catatan, aku terpaksa berhutang saat itu karena Ayahku belum mendapatkan gaji dari pekerjaannya dan uang hasil dagangku serta adonan rotiku dicuri entah oleh siapa. Gilanya lagi, pihak Kekaisaran Bizantium tak pernah mengusut tuntas sebagian besar kasus kejahatan di dalam daerah kekuasaannya.

Sekarang, aku tengah meletakkan roti yang sudah kubuat di etalase toko. Aku selalu melakukan ini pada pagi hari sebelum mentari bersinar cerah di kota. Toko tua yang sudah berdiri selama tiga tahun ini berada di dekat Hagia Sophia, sekarang sebuah masjid penuh dengan orang untuk ritual ibadah bernama ‘Shalat Shubuh’.

Usai melaksanakan ritual ibadah mereka, sebagian pengunjung masjid mendatangi tokoku. Sejujurnya, aku tak pernah memercayai ‘orang-orang sabit’. Tetapi, di sinilah awal kebingunganku. Warga asli, terutama pihak Kekaisaran Bizantium, di sekitar sini selalu berkata bahwa ‘orang-orang sabit’ adalah kumpulan penjarah keji yang akan membunuh mereka semua suatu saat nanti karena agama yang mereka anut.

Namun, dari awal kedatangan ‘orang-orang sabit’ sepekan lalu hingga sekarang, tak ada satupun berita kematian di tangan mereka dan malahan kabar-kabar yang masyarakat dapat sekarang selalu berisi pesan peningkatan kesejahteraan dari pembayaran hutang seperti penjelasanku tadi hingga rencana Kekaisaran Turki membangun pasar besar untuk pedagang kota ‘Islambol’ alias Konstantinopel.

Otoritasnya memang diambil alih oleh orang Islam, namun mereka tak pernah memiliki masalah dengan orang beragama lain dan apa yang terjadi setiap hari adalah perbaikan demi perbaikan dalam masyarakat. Lihat saja, dulu aku harus selalu memperhatikan dengan baik-baik setiap pergerakan orang yang melewati tokoku agar rotiku tak dicuri orang.

Kalaupun ada prajurit lewat, mayoritas mereka lewat lalu hanya untuk mengumpulkan pajak Kekaisaran. Sekarang, prajurit lewat berarti ada patroli untuk menekan jumlah pencuri dan bagiku itu hal yang baik walau pada awalnya aku tak percaya pada mereka.

Selama berdagang, aku menyadari bahwa sebagian besar pembeli rotiku pada hari ini adalah prajurit-prajurit Turki. Uniknya lagi, mereka tetap membeli walau wajahku pada awalnya sedikit menatap tajam tanda tak percaya dengan kehadiran mereka.

Aduh, aku benar-benar merasa sangat bersalah begitu kudengar percakapan dua orang prajurit Turki di depan tokoku.

“Selim, aku tak paham,” Kata salah seorang prajurit muda dengan perawakan pendek namun kekar.

“Abdullah, Komandan Amir meminta kita untuk membantu para warga,” Prajurit jangkung dan berkumis itu menepuk pundak sang prajurit muda, “Namun, apa hubungan antara mendatangi pasar ini dengan membantu warga sekitar?” Tanya Abdullah penasaran.

“Kau akan tahu maksudku, anak muda,” Ucap Selim si prajurit jangkung, “Bagaimana kalau kita membeli beberapa roti dari toko itu untuk makan siang? Kata warga sekitar, toko roti itu cukup terkenal,” Mereka berdua langsung mendatangi tokoku.

“Permisi, Pak” Tuan Selim membungkuk sebentar, ia tak mengucapkan “Assalamualaikum” begitu menyadari ada kalung salib di leherku. “Boleh saya beli 120 buah?”

120 buah

120 buah

Apa? 120 buah? Satu roti sama dengan satu drachma dan orang ini membeli 120 buah!

“Berapa harganya?” Tanya Tuan Selim, “satu drachma,” Jawabku.

Tanpa tanya, orang itu mengeluarkan........60 koin EMAS?!

Aku tak bisa mengatakan apapun mengenai hal itu. Aku tak tahu uang apa yang ada di depan mataku dan aku bahkan tak tahu berapa perbandingan koin emas mereka dengan drachma di kota ini. Namun, aku tahu bahwa koin emas hanya dipegang bangsawan dan sekarang diberikan.......pada rakyat jelata!

“Saya berharap uang tersebut sangat berguna bagi Anda, Tuan Janus,” Bahkan Si Jangkung itu mengenalku? Bukan hal biasa bagiku disapa seorang prajurit.

Orang yang seingatku bernama Abdullah itu langsung tercengang dengan jumlah roti yang dibeli, uang yang dikeluarkan, dan kata selanjutnya dari sang prajurit jangkung.

“Kalian tercengang? Baiklah, saya sengaja membeli roti ini atas perintah Komandan dengan satu alasan: membantu warga,” Tuan Selim langsung menatapku, “Komandan Amir tahu bahwa Anda seorang yatim piatu dan atas dasar tersebut, kami ingin membantu Anda dengan membeli rotinya......serta meninggalkan ini untuk Anda,” Tuan Selim menepuk pundak Tuan Abdullah lalu menunjuk sebuah amplop merah di kantong baju Tuan Abdullah, Tuan Abdullah memberikan amplop itu padaku.

Mereka lalu pergi dari tokoku dan amplop itu kubuka, beginilah isinya:

“Bismillahirahmanirahim

Ini adalah bagian dari kebijakan sang Sultan yang dirahmati Allah, Sultan Muhammad Al-Fatih sang Kaisar Rumiyah.

Dengan surat ini, Daulah Agung Utsmaniyyah mengajak kepada siapapun yang menerima surat ini agar segera mendatangi Hagia Sophia untuk mendapat pelayanan khusus pedagang dan yatim piatu.

Daulah Agung akan mengurusi perbaikan setiap toko yang ada di dalam Islambol dan memberikan santunan lanjutan bagi mereka yang membutuhkan.”

Surat itu, keramahan masyarakat Turki, serta perilaku kedua prajurit itu membuatku percaya bahwa mereka memiliki kualitas lebih baik dari Kekaisaran sebelumnya.

Tentu kalian tahu apa yang kulakukan setelahnya begitu kubaca surat tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun