"Ayo, semuanya. Kita berlari menuju sungai itu! Cepat!" Furqan mulai berlari, disusul oleh Firman, Ahmed, dan Umar si pengirim pesan.
Tak lama kemudian, ledakan meriam dan tembakan senapan lantak menggema. Tak ada waktu untuk mereka melihat ke belakang. Mereka berlari menuju sungai sembari menebas dan menembak kosak-kosak Kekaisaran.
Berlari dan terus berlari, tinggal beberapa meter lagi mendekati sungai dan Umar mendadak ambruk di tanah.
"UMAR!" Furqan berteriak kencang, Ahmed melihat ada seorang prajurit Kekaisaran tengah mengisi peluru di atas kudanya. Hanya butuh sebilah pisau dari Ahmed untuk membuat prajurit itu jatuh dari pelananya.
Sementara Furqan mengguncangkan mayat Umar yang sudah meninggal, Ahmed mencoba mendekatinya sebelum Firman berseru begitu mendengar derap gerombolan kuda.
"Semuanya, kita tak punya waktu lagi!" Firman mulai menyiapkan senapannya, "Kita hanya bisa meninggalkan Umar di sini!" Furqan yang baru saja mau mengatakan sesuatu langsung dihentikan oleh Firman, "Pergilah! Kalian pergi ke perahunya dan aku yang akan menahan mereka di sini!"
"Ayo, Amir, kita berangkat." Ahmed menarik tangan Furqan yang terlihat depresi karena kehilangan salah satu teman karibnya. Akhirnya, mereka berdua berlari meninggalkan Firman yang sudah tak diketahui lagi nasibnya. Sampai di perahu mereka, Ahmed langsung menahan perahunya untuk membantu Furqan naik.
Setelah Furqan naik, barulah Ahmed menaiki kapal. Para pasukan kavaleri Kekaisaran mulai menyusul dengan sebagian di antara mereka menembakkan pistol mereka. Salah satu peluru mereka memang menghantam bahu kanan Ahmed, namun, mereka berhasil melarikan diri dari kejaran para kavaleri.
Butuh waktu tiga bulan untuk mereka mencapai kota Erzurum yang merupakan kota terdekat di wilayah Turki Utsmani mengingat hanya Furqan yang bisa mengayuh perahu. Mereka langsung disambut dengan ramah di rumah sakit setempat.
Sepekan kemudian, kabar mengenai pelarian mereka sampai kepada seorang komandan Janisari setempat, Farras Pasha. Kedua pejuang Kaukasus tersebut diundang ke salah satu garnisun pusat daerah dan mereka menceritakan semua perjuangan Imamat Kaukasus pada sang komandan. Farras memberikan Ahmed dan Furqan sebuah rumah di Istanbul untuk tinggal dan menunggu Imam Syamil hingga tahun 1869.
Memang tak berlebihan untuk menyatakan bahwa Furqan masih memiliki trauma sejak pelarian itu sampai sekarang dan Ahmed sempat memiliki kesulitan ekonomi karena tak banyak pengalaman hidupnya selain berperang. Namun, mereka bisa hidup bahagia dengan bantuan Kesultanan dan akhirnya berkeluarga di sana.