Saya mengikuti betul kasus Revina VT dengan Deddy Susanto. Tapi hanya sampai perdebatannya di media sosial. Revina yang terus membeberkan bukti pelecehan seksual dari orang yang mengaku. korban dan Deddy yang mengirim berbagai bukti bahwa tuduhan itu rekayasa. Yang satu menyerang, satu lagi jadi pemain bertahan.
Tapi saya tidak terlalu mengikuti perkembangan kasusnya lagi semenjak masuk ke pengadilan. Setelah berbulan-bulan lamanya kasus ini bergulir, beberapa hari yang lalu saya baru tahu kasusnya sudah lama selesai. Dan pertarungan dimenangkan oleh Deddy Susanto.
Yang menyedihkan, Revina dalam satu wawancara mengakui penyesalannya sambil mengatakan 'semenjak kena kasus ini gue jatuh miskin'.Â
Saya kagum dengan keberanian Revina yang ingin membela korban pelecehan seksual, tapi yang sangat di sayangkan, kecermatan dia dalam menggali informasi korban cukup lemah. Hanya bermodalkan kiriman pengakuan dari korban via DM instagram saja. Padahal bukti itu saja tidak cukup.
Perlu ada tindak lanjut. Misalnya di bawa langsung ke ranah hukum. Sebelum itu, pastikan juga korban benar-benar punya minimal dua bukti yang bisa jadi penguat di persidangan.
Sayangnya Revina tidak melakukan ini. Ia hanya mengumpulkan pengakuan korban via DM yang mana pertama, bisa jadi pengakuannya palsu. Kedua, kalau pun pengakuannya asli, itu belum cukup bisa dijadikan bukti.
Saya paham kenapa Revina bisa sevokal itu. Saya punya teman-teman yang hidupnya vokal pada isu-isu sensitif. Orang-orang seperti mereka merasa perlu melakukan perubahan besar untuk orang lain.
Semangat Revina berapi-api layak di acungi jempol. Setidaknya niatnya masih murni untuk membantu dibandingkan orang yang menjabati jabatan politik. Walaupun orang vokal sepertinya juga butuh atensi besar dari orang lain.
Atensi atau pengakuan dianggap pahlawan, mendapat pujian atas jasanya, itu sebuah kebahagiaan yang tiada kira. Bagi orang-orang idealis seperti Revina, mendapatkan atensi adalah segala-galanya. Tapi itu wajar dan sah-sah saja.
Hal yang luput dari orang seperti Revina adalah tidak punya rencana tentang kemungkinan terburuk apa yang akan terjadi setelah mereka melakukan tindakan itu.
Mereka mestinya tahu ada resiko yang mengancam mereka. Dan kadang dengan percaya dirinya mereka merasa mampu menerima semua resikonya. Padahal mereka tidak benar-benar tahu resiko. Mereka hanya punya kepercayaam diri yang tinggi, tapi tidak realistis.
Masalahnya resiko itu benar benar nyata. Kalau sampai mereka terpeleset dengan perilakunya sendiri, pertaruhannya sangat besar. Banyak public figure yang telah merasakan kejatuhan karir karena terlalu vokal dengan jalan yang mereka anggap benar. Dan itu pertaruhan yang setimpal kalau memang mereka menerima segala konsekuensinya.
Konsekuensi terkena satu kasus besar, bisa berakhir boikot, di putus kontrak oleh brand, kehilangan penggemar atau kemungkinan paling buruknya adalah nyawa jadi pertaruhannya. Apa Revina pernah memikirkan sejauh itu? Saya rasa tidak.
Revina cuma satu dari sekian banyak orang yang lantang suaranya, tapi tidak realistis dengan kondisi mereka sekarang. Sebagai anak muda, saya tahu Revina juga butuh memenuhi hidupnya dengan keuangan yang stabil. Â Revina suka uang kan? Ya siapa juga manusia yang tidak suka uang?
Maksud saya, kalau mau membela kepentingan orang lain, pastikan juga isi perutnya terisi. Hidup ini perlu makan. Lebih dari itu kenyataannya hidup perlu memenuhi keinginan untuk menyenangkan diri sendiri.
Jadi kalau merasa belum stabil finansialnya, tidak punya tabungan, passive income, back up pengacara atau orang dalam, sebaiknya pikir-pikir dulu untuk bersuara lantang seperti itu. Karena resikonya bisa memutar roda ekonominya anjlok. Dan itu terjadi pada Revina sekarang.
Kalau pun Revina sangat mapan secara finansial, mau boikot, di benci, kehilangan pekerjaan atau di asingkan dari lingkungan sekalipun, dia masih bisa survive. Sayangnya pikiran Revina tidak sepanjang itu.
Tapi setelah semua ini terjadi, setelah Revina berkali-kali bilang dirinya bangkrut karena harus menanggung kerugian finansial yang sangat besar dari kesalahannya, setidaknya ada pelajaran yang bisa dia dapatkan.
Saya tidak merasa Revina perlu bungkam dengan isu-isu sensitif. Harapan saya dia bisa tetap vokal. Hanya saja caranya mungkin bisa dilakukan lebih santai, tidak grasa-grasu dan lebih cermat dalam mengambil isu yang mau dia suarakan.
Satu-satunya yang bisa saya apresiasi dari Revina adalah keberaniannya. Kalau saya jadi Revina saya tidak akan seberani itu. Ya, saya tahu, atas nama kebenaran dia bisa sangat bersemangat untuk mengungkap suatu ketidakadilan. Dan semangat itu memang seharusnya ada di diri semua anak muda. Hanya saja perlu di berhati-hati dan di pikir lebih jauh konsekuensinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H