Ketika ada anjuran untuk tidak pergi kemana-mana dan tinggal di rumah saja, saya jadi kesulitan membedakan mana waktu untuk mengerjakan kewajiban, mana waktu untuk bersantai.
Rasa-rasanya, antara harus mengerjakan deadline dan waktu berleha-leha bisa terjadi di saat bersamaan. Saat mengerjakan deadline, selalu ada kecenderungan ingin rebahan. Tapi disaat terlanjur rebahan, inginnya fokus mengerjakan deadine.
Dikala pandemi ini, kita semua punya lebih banyak waktu untuk me time. Malah rasanya jadi over me time. Waktu untuk bersantai-santai ria jadi terasa berlebihan.
Me time yang biasanya dilakukan setelah menjalani kesibukan, sekarang justru keadaannya terbalik. Lebih banyak me time-nya daripada sibuknya.
Me time yang terlalu lama ini malah membuat saya jenuh. Sebanyak apapun hiburan di rumah, tetap saja saya merasa harus ada aktivitas diluar ruangan, terutama berinteraksi dengan orang lain (selain keluarga tentunya).
Setahu saya, tujuan utama me time adalah untuk mengembalikan energi, semangat, atau mood setelah setres menjalani aktivitas harian. Namun saat ini situasinya berubah. Me time-lah yang justru bikin setres dan kesibukanlah yang sekarang cari-cari demi menghindari kebosanan.
Dulu saya sempat mengatakan pada seorang teman kalau disaat semua orang harus di rumah, itulah waktu yang tepat untuk me time. Tapi dia tidak setuju. Dia merasa ini bukan me time, tapi seperti dipenjara di rumah sendiri.
Saya pikir, mungkin karena dia extrovert garis keras, jadi bagi dia di rumah dalam waktu lama itu rasanya tersiksa. Namun setelah sebulan lebih saya 'Di rumah aja', saya baru sadar kalau kata-katanya ada benarnya juga.
Saya merasa me time itu memang bukan hanya soal menghabiskan waktu di rumah saja. Me time itu masalah mencari suasana ternyaman bagi seseorang.
Hal ini juga dibenarkan oleh pernyataan seorang psikolog yang pernah saya dengar di sebuah podcast. Saya lupa siapa nama psikolognya. Tapi jelasnya, dia mengatakan, kebanyakan orang mempersepsikan me time sebagai waktu luang untuk sendiri.
Padahal me time itu harus juga disesuaikan dengan apa yang orang sukai. Misalnya, ada seorang pekerja kantoran yang merasa setres dengan pekerjaannya, lalu memutuskan berlibur sendirian ke Bali selama 3 hari.
Bukannya merasa enjoy dan happy, orang ini malah merasa kesepian dan tidak nyaman dengan semua liburannya. Padahal sebelumnya dia mengira me time-nya di Bali akan sangat menyenangkan karena tidak terganggu oleh orang-orang kantor.
Menurut kacamata psikolog, ada kemungkinan dia bukan tipe orang yang senang berlama-lama dengan waktu kesendiriannya. Justru bagi sebagian orang, yang disebut me time adalah berkumpul dengan orang yang paling dia sayangi atau pergi jalan-jalan dengan sahabatnya sendiri.
Jadi definisi me time perlu diluruskan. Setiap orang punya cara me time-nya masing-masing. Seperti yang di singgung oleh psikolog, seseorang harus menemukan waktu ternyaman dalam dirinya. Waktu ini bukan hanya dihabiskan dengan sendirian saja. Tergantung bagaimana nyamannya seseorang.
Kalau memang me time-nya adalah hanya berdiam diri di rumah dan nonton film seharian, maka pastikan bahwa itu waktu ternyaman kita selama ini. Tapi bagi orang lain, me time-nya bisa jadi melakukan sesuatu bersama-sama dengan teman, makan di restoran favorit dengan pasangannya.
Saat pandemi seperti ini, orang-orang yang lebih suka me time dengan cara bertemu teman memang jadi bingung sendiri. Mungkin masalahnya bisa di siasati dengan video call, tapi itu saja tidak cukup. Bertemu secara face to face lebih bisa mengobati me time bersama orang yang di rindukan.
Lantas, bagaimana jalan keluarnya? Saya rasa tidak ada. Sebaiknya kita harus sedikit bersabar sampai pandemi ini berakhir. Barulah setelah itu me time-nya bisa terobati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H