Ada yang mengatakan, sebagian besar media massa saat ini sudah kehilangan independensinya. Sebab, banyak media secara jelas menyudutkan satu pihak dan memenangkan pihak lainnya.
Media dianggap mengambil peran dalam menaikan isu dan membentuk opini masyarakat. Sehingga sebagian orang mulai skeptis pada media. Sebagiannya lagi memilih mem-follow media tertentu yang sesuai dengan preferensinya.
Misalnya, jika kita menyukai sosok Prabowo, maka kita cenderung follow media yang menurut kita tidak menyudutkan dia. Sebaliknya, jika kita tidak suka dengan sosok Jokowi, kita tidak akan follow media yang sekiranya pro dengan dia.
Hal ini sebetulnya keliru. Memilih media tertentu dan mengabaikan media lain bukanlah sikap yang tepat. Sebab, kita akan terjebak dalam gelembung bias atau filter bubble. Filter bubble akan membuat kita sulit berpikir objektif.
Kenapa? Karena kita tidak bisa menampik bahwa media punya power dalam menggiring "opini" seseorang. Kita tentu tidak ingin sikap kita terhadap suatu kasus digiring oleh media bukan?
Seandainya kita (katakankah) bekerja sebagai pemangku kepentingan, keputusan-keputusan kita terhadap kebijakan akan keliru. Karena sumber informasi yang kita dapatkan hanya berasal dari media yang preferensinya sama dengan kita.
Kalaupun kita bukanlah seorang pemangku kepentingan, hanya orang biasa yang bekerja di sektor swasta misalnya, kita pun akan kena getahnya juga.Â
Kita akan mudah di "peralat" oleh media dengan segala keberpihakannya pada tokoh tertentu. Kita akan mudah di setir alias dimobilisasi dengan narasi-narasi yang sesuai dengan "ideologi" media. Akhirnya kita akan kesulitan melihat fakta yang sebenarnya.
Yang lebih baik dilakukan sebetulnya, mestinya kita follow semua media tanpa peduli media itu pro mana. Tujuannya agar kita bisa melihat semua informasi dari segala persepektif.
Kita tahu media saat ini punya "keberpihakannya" masing-masing. Mereka punya value yang berusaha disampaikan kepada konsumennya, yang bisa jadi menguntungkan pihak tertentu seperti investor atau bos media yang bersangkutan.
Atau, alasan yang lebih logis kenapa sebagian media dianggap kehilangan independensinya diantaranya komersialisasi yang semakin menguat. Jadi, berita apapun yang dibuat selama bisa menaikan jumlah pembaca ataupun menonton, media akan terus-terus mengangkat topik itu.
Mirisnya, itu yang sedang terjadi saat ini. Media akan mengangkat topik yang paling panas, biasanya mengangkat isu dua kubu bersebrangan yang kemudian di ekspolitasi sebagai bahan berita.
Dalam kasus ini, media tidak salah. Dalam arti, ini tidak menyalah kode etik jurnalisme. Tetapi, celakanya media mengabaikan dampak sosial yang akan terjadi di masyarakat. Dengan secara terus-menerus menabrakan isu-isu panas, masyarakat akan ikut panas juga.
Ini sama seperti mempertarungkan antara satu petinju dengan petinju lainnnya. Media tidak berpihak pada satu petinju, tapi dibuatnya pertarungan tinju itu akan membuat penonton semakin agresif untuk memenangkan satu pihak.
Masyarakat menganggap bahwa semua yang ada di berita adalah pertarungan sengit yang mempertaruhkan antara hidup dan mati.Â
Kenyataannya, tanpa kita mendukung salah satu pihak pun, kehidupan kita masih tetap berjalan. Artinya, permasalahan berat yang dimuat oleh media sama sekali tidak berdampak langsung pada nasib kita.
Kita boleh saja mengikuti jalannya kasus yang ada di media dan ikut serta menyatakan pendapat. Namun, kita juga mesti sadar bahwa apa yang terjadi sebenarnya tidak berkaitan erat dengan kehidupan kita.
Ibaratnya, kalau dalam politik, siapapun yang menang dalam kontestasi politik, Jokowi versus Prabowo dan seterusnya, tidak akan mengubah hidup kita secara langsung.
Jadi, apa yang selama ini membuat kita panas dengan berita di media sesungguhnya bukan pertarungan hidup dan mati. Tetapi, sebatas berita adu kepentingan di kalangan elit-elit saja.Â
Selebihnya, media jadi pihak yang paling di untungkan dari segi profit. Sedangkan kita sebagai masyarakat biasa hanya jadi penonton saja.
Jadi penting bagi kita untuk bisa cerdas melihat keberpihakan media yang begitu kompleks. Kita mesti cermat memilah dan memilih informasi yang kita terima lewat media.
Kita tidak tahu "ideologi" apa yang dibawa satu media. Apa mereka membawa satu ideologi tertentu atau hanya berorientasi pada profit saja.
Kita selama ini hanya bisa menikmati apa yang tersaji di "meja makan" milik media. Kita hanya punya beberapa pilihan.
Pilihan untuk melahap semua yang ada di "meja makan" tanpa melihat apakah itu baik bagi kita atau tidak. Atau, kita memilih untuk lebih jeli, lebih teliti, lebih kritis, demi asupan informasi yang lebih sehat.
Dan yang paling penting dari semuanya adalah kita bisa menjadi lebih bijak dalam menerima informasi. Bijak dalam arti tidak mudah terprovokosi atau terhasut oleh berita di media. Siapa tahu apa yang diberitakan tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H