Semua orang bebas berbicara politik. Dari  akademisi, konglomerat, pekerja kasar, sampai kaum dead wood alias pengangguran pun punya derajat yang sama untuk bicara politik.
Politik bukan lagi barang dengan label eksklusif. Bukan juga produk limited yang hanya bisa konsumsi oleh segelintir pihak. 'Politik itu milik semua orang', kata mereka yang skeptis bahwa politik hanya untuk orang intelek saja.
Namun berkat keleluasaannya, politik dapat menjadi bumerang yang bisa menjatuhkan citra seseorang. Terutama mereka yang tersorot oleh citra positif di mata masyarakat banyak.
Sebab kalau sudah terlibat dalam pembicaraan politik kubu-kubuan, orang yang dianggap cerdas secara inteketual sekalipun akan dilihat bodoh dengan kredibilitas dibidangnya.
Apa kalian mengenal Jonru? Orang-orang yang mengikuti politik cebong-kampret pasti familiar dengan nama ini. Dulu, saya belajar banyak tentang dunia menulis padanya. Beliau adalah penulis panutan saya dan yang memotivasi saya untuk komitmen menulis.
Saya ikuti semua artikelnya tentang teknik-teknik menulis yang baik. Tapi ketika akhirnya ia jadi buzzer politik dan menyinggung SARA dimana-mana, saya malah mengernyitkan dahi, "Loh kok jadi kayak gini!?" hingga ia dipenjara dan akhirnya bebas, drama Jonru masih berlanjut. Dan secara secara personal saya pribadi jadi kurang respect.
Kemudian pada saat SMA saya pernah mengidolai tokoh muslim dari kalangan mualaf, Felix Xiauw. Saya pun selalu tertarik dengan buku-buku Felix soal 'larangan pacaran dalam islam', juga buku sejarah perjuangan khilafah seperti Muhammad Al-Fatih, lalu saya sangat rajin mengikuti kultwittnya di twitter.
Bahkan saat SMA saya ikut mengkampanyekan tentang haram mengucapkan selamat hari natal dan hari valentine yang di gagas Felix di sosial media.Â
Kebetulan guru agama saya juga mendukung gerakan itu lantas menyuruh saya untuk ikut mengkampanyekannya.
Kemudian saya mencetak soft file pamflet dan brosur-brosur kampanye yang di share Felix Xiauw ke mading sekolah.Â
Kebetulan waktu itu saya anak mading (jurnalis sekolah) dan beberapa tulisan saya pernah di tempel disana. Jadi saya semacam punya link untuk menentukan konten apa saja yang cocok dimuat di mading.
Tapi semenjak kuliah, orientasi saya soal dia berubah. Ini bukan saja karena preferensi politik saya bersebrangan dengan Felix, tapi ada banyak pemahaman soal islam yang di sadari tidak sejalan lagi.Â
Tapi bukan lantas membencinya. Sampai saat ini saya masih mengikuti kajian-kajian islam yang dia buat lewat instagram dan Youtube.
Perlu diakui bahwa tidak sedikit ajaran islamnya yang sepaham dengan saya terutama terkait dengan gender. Namun mesti disadari pula ada sebagian pendengar setia dakwahnya yang mundur karena dianggap punya haluan politik yang keras.Â
Terlebih ketika dia secara terang-terangan berafiliasi dengan organisasi islam yang menentang keberadaan dasar negara dan pancasila.Â
Sama seperti Jonru, Felix ikut campur dalam urusan politik cebong-kampret yang secara tidak langsung "menghancurkan" karir dakwahnya.
Menghancurkan disini maksud saya adalah mereka secara pasti kehilangan sebagian pendengar dakwahnya karena pilihan politiknya. Tapi saya yakin mereka merasa tidak ada yang salah dengan jalan politik mereka.Â
Bahkan bisa jadi mereka merasa ada dipihak yang paling benar sehingga keyakinan soal preferensi politik mereka makin kuat sampai sekarang.
Bukan mereka berdua saja. Orang-orang seperti Ahmad Dani, Eko Patrio, serta penulis-penulis kenamaan seperti Tere Liye dan Hanum Rais yang akhirnya mencicipi kerasnya dunia politik seperti apa.
Memang sejatinya, tidak ada yang salah dengan pilihan politik seseorang. Saya tidak merasa mereka semua membuat keputusan yang salah.Â
Tetapi saya hanya melihat dari sudut pandang dimana ada resiko yang harus diambil dari keputusan politik mereka dibandingkan dengan penulis atau pendakwah yang memilih netral dalam politik praktis.
Dan keberpihakan mereka pada salah satu kubu sedikit banyak mempengaruhi aktivitas dalam pekerjaan atau profesi mereka. Bahkan sekelas Jonru pun bisa masuk penjara.Â
Kalian bayangkan jika Jonru sejak dulu memilih netral saja dalam politik. Siapa tahu karir menulisnya jauh lebih baik dari sekarang. Ya, wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H