Tapi semenjak kuliah, orientasi saya soal dia berubah. Ini bukan saja karena preferensi politik saya bersebrangan dengan Felix, tapi ada banyak pemahaman soal islam yang di sadari tidak sejalan lagi.Â
Tapi bukan lantas membencinya. Sampai saat ini saya masih mengikuti kajian-kajian islam yang dia buat lewat instagram dan Youtube.
Perlu diakui bahwa tidak sedikit ajaran islamnya yang sepaham dengan saya terutama terkait dengan gender. Namun mesti disadari pula ada sebagian pendengar setia dakwahnya yang mundur karena dianggap punya haluan politik yang keras.Â
Terlebih ketika dia secara terang-terangan berafiliasi dengan organisasi islam yang menentang keberadaan dasar negara dan pancasila.Â
Sama seperti Jonru, Felix ikut campur dalam urusan politik cebong-kampret yang secara tidak langsung "menghancurkan" karir dakwahnya.
Menghancurkan disini maksud saya adalah mereka secara pasti kehilangan sebagian pendengar dakwahnya karena pilihan politiknya. Tapi saya yakin mereka merasa tidak ada yang salah dengan jalan politik mereka.Â
Bahkan bisa jadi mereka merasa ada dipihak yang paling benar sehingga keyakinan soal preferensi politik mereka makin kuat sampai sekarang.
Bukan mereka berdua saja. Orang-orang seperti Ahmad Dani, Eko Patrio, serta penulis-penulis kenamaan seperti Tere Liye dan Hanum Rais yang akhirnya mencicipi kerasnya dunia politik seperti apa.
Memang sejatinya, tidak ada yang salah dengan pilihan politik seseorang. Saya tidak merasa mereka semua membuat keputusan yang salah.Â
Tetapi saya hanya melihat dari sudut pandang dimana ada resiko yang harus diambil dari keputusan politik mereka dibandingkan dengan penulis atau pendakwah yang memilih netral dalam politik praktis.
Dan keberpihakan mereka pada salah satu kubu sedikit banyak mempengaruhi aktivitas dalam pekerjaan atau profesi mereka. Bahkan sekelas Jonru pun bisa masuk penjara.Â