Beberapa tahun lalu, ada sebuah survei di kota saya yang menyatakan bahwa 8 dari 10 siswi SMA sudah pernah melakukan seks diluar nikah. Data ini tentu sangat mengejutkan. Bukan saja bagi saya tapi bagi semua pihak terutama mereka yang bergelut dalam bidang pendidikan.
Seseorang yang saya kenal kemudian mencari tahu asal-muasal data ini. Ia bahkan mendatangi langsung lembaga survei terkait. Setelah ditelusuri ada fakta mengatakan survei tersebut menggunakan sampel dari beberapa siswi SMA 'pinggiran' yang terkenal sebagai sekolah dengan akreditasi rendah dan memang sering terjadi banyak kasus kenakalan disana. Sedangkan sekolah-sekolah yang punya image baik tidak masuk dalam sampel survei.
Dari contoh tersebut setidaknya bisa menyimpulkan bahwa data tidak selalu punya kebenaran mutlak. Data tetap punya sisi lemah karena tergantung pada metode yang digunakan sehingga jika metodenya tidak fair maka hasilnya pun akan salah.
Bagaimana dengan data-data yang di klaim di pemerintah? Apa mungkin data yang dibuat sesungguhnya merupakan ketidakadilan dalam mengambil data dan kesalahan dalam cara-cara pengukuran data? Bisa iya, bisa tidak. Tetapi setidaknya itu bisa jadi nilai kritis yang bisa di rundingan bersama oleh kita dan kaum akademisi.
Namun jika perlu diperjelaskan lagi. Data dalam hal ini selalu punya ukuran-ukuran yang jelas dan bisa dibuktikan. Tetapi kalau berbicara realitas, ini tergantung siapa yang berbicara. Terkadang tukang tambal ban di depan kampus saya pun bisa berbicara realitas. Ya, tentu realitasnya sesuai dengan kehidupannya yang pas-pasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H