Pertahanan kemaritiman dan kelautan Indonesia yang sempat mengalami masa reinesannsce (masa keemasan) kini kembali ke jurang kegelapan, apalagi kalau bukan pergantian menteri bearti berganti pula suatu kebijakan bisa upgrade maupun downgrade dengan bergantinya menteri teladan selama satu periode Susi Pudjiastuti dengan Edhy Prabowo dengan menembalikan kebijakan lama yang kontroversional seperti ekspor kembali benur (benih lobster), penggunaan kembali cantrang, dan tidak diberlakukannya kembali penenggelaman kapal nelayan asing entah dengan alasan diplomasi.
Meskipun kebijakannya dianggap kontroversi namun komisi dan lingkungan menteri sekitar tak peduli sedangkan pada masa menteri Susi justru tidak sedikit yang menentangnya walau kebijakan tersebut memberi keuntungan pada pihak nelayan itu sendiri, mungkin butuh lebih dari lima tahun atau satu abad lebih dalam reformasi Indonesia dalam segala bidang termasuk pengembangan perikanan dan kemaritiman Indonesia dengan beberapa kendala seperti kesejahteraan nelayan, perlengkapan yang memadai, dan birokrasi yang dewasa.
Mengapa tidak disarankan mengekspor benih budidaya hasil laut terutama benur, dan apakah berpengaruh pada penghasilan dari dalam negeri?
Kita semestinya tahu bahwa seharusnya Indonesia berpotensi sebagai swadaya hasil laut karena faktor geografis laut yang luas dan sumber daya alam yang melimpah terutama berasal dari laut untuk kemakmuran dan kebahagiaan tanah sendiri.
Hasil laut melimpah termasuk lobster harusnya dapat dikembangkan dengan baik dengan cara menjual dan mengekspor lobster yang utuh bukan benihnya, jika kita menjual benihnya (benur) berpotensi besar merugikan nelayan kita, bagaimana tidak?
Dari penulusuran yang saya cari alasan benur tidak boleh dijual bukan hanya merugikan nelayan kita karena kualitas budidaya dari luar lebih baik, tetapi juga mempengaruhi ekosistem laut kita, bagaimana tidak?
Akibat perubahan ekosistem laut maka kualitas benur berpengaruh juga secara drastis, hingga berpotensi menyebabkan kelangkaan sejumlah spesies laut yang sebagiannya merupakan komoditas laut utama Indonesia karena memiliki nilai yang tinggi, terutama lobster itu sendiri.
Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang membuka ekspor benih lobster ditentang banyak pihak karena dinilai hanya membawa keuntungan jangka pendek. Kebijakan itu juga dinilai rawan penyimpangan bila tak diikuti dengan pengawasan yang ketat. (Tempo, 6 Juli 2020)
Pembukaan kran ekspor benih lobster yang dihela korporasi selain sebagai legalisasi penyelundupan dan aktivitas ilegal, langkah ini hanya menguntungkan segelintir pelaku. Terutama eksportir. Sebagai price taker, nelayan hanya kebagian remah-remah. Agar dapat nilai besar, mereka akan tergoda menangkap besar-besaran. Jika ini yang terjadi, lobster bakal berujung overeksploitasi dan kepunahan. (CNN Indonesia, 9 Juli 2020)
Mungkin sempat terjadi protes nelayan terhadap penangkapan hasil laut dengan cantrang pada masa menteri Susi, penggunaan cantrang dilakukan kembali setelah pergantian menteri namun hasil didapatkan tidak mengalami perubahan, bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Pada periode sebelumnya Kementerian KPP melarang penggunaan cantrang dalam hal mata pencaharian sebagai nelayan dengan beberapa faktor seperti masih banyak nelayan kita menggunakan alat penangkapan tradisional dan kerusakan ekosistem tempat tinggal ikan.
Meski begitu pelarangan penggunaan cantrang menjadi polemik tersendiri yang sempat berujung pada aksi protes terhadap nelayan yang belum paham tentang bahaya penggunaan cantrang hingga yang akan datang kepada pemerintah dengan faktor biaya dan daya tangkap dari cantrang tersebut atau bisa jadi kesalahan kementerian periode sebelumnya pemberian pendidikan pengembangan nelayan.
Susi mengeluarkan larangan penggunaan cantrang dan alat tangkap yang merusak lingkungan diberlakukan sejak 2018. Larangan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan Nomor 2 Tahun 2015 dan juga Nomor 71 Tahun 2016. Kebijakan pelarangan cantrang menimbulkan pro-kontra. Sejumlah nelayan menolak rencana Susi karena dinilai merugikan rakyat. (Tirto, 29 Oktober 2019)
Indonesia bisa saja terseret dalam sengketa Laut China Selatan karena kepulauan Natuna berbatasan dengan LCS yang menjadi klaim Tiongkok dalam menguasai Nine Dash Line, setelah pergantian menteri hukuman penenggelaman kapal ditiadakan dengan alasan hubungan diplomatik, namun nelayan kita sekitar sejak itu pula semakin terusir oleh laut wilayah sendiri seolah-olah kembali dikuasai pihak asing, apakah Indonesia perlu terlibat dalam sengketa LCS yang diamini lima negara Asia-Pasifik demi menjaga kedaulatan maritim kita?
Penghapusan aturan penenggelaman kapal asing kedalam wilayah laut Indonesia dengan alasan menjaga hubungan bilateral dinilai tidak masuk akal bahkan berpotensi menyebabkan kerugian lebih besar pada nelayan kita, walhasil banyak nelayan kita di wilayah Natuna merasa terusir dari wilayah sendiri karena kapal nelayan asing kembali merajalela dengan perlengkapan yang lebih layak, sehingga berpotensi pula klaim hasil laut dari wilayah Natuna dianggap sebagai sumber daya alam milik asing.
Pada permasalahan hubungan wilayah Natuna dengan sengketa LCS, bisa dikatakan Indonesia sebagai negara politik bebas aktif dalam tanda kutip seharusnya Indonesia dapat mengutamakan kedaulatan sendiri tanpa memandang paham politik manapun, berupa ikut serta dalam menyelesaikan sengketa LCS karena berbatasan langsung dengan Natuna dan sudah ada ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif yang dikemukakan PBB.
Diketahui hubungan AS dengan China sedang memanas salah satunya masalah LCS, dan seharusnya Indonesia dapat menunjukkan kedaulatannya dalam menyelesaikan masalah sengketa tanpa berpihak diantara dua negara adikuasa yang sedang berkonflik.
Pemerintah Indonesia hendaknya secara terus menerus menyatakan kemandirian dirinya yang tidak merupakan bagian dari konflik di Laut China Selatan. Sebagai pendiri Gerakan Non-Blok (GNB), menganut politik luar negeri bebas aktif yang siap berperan serta merajut perdamaian dan ketertiban dunia, serta memiliki otoritas mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah.Â
Guna membuktikan ketegasan di atas, sudah pada tempatnyalah jika TNI melakukan latihan gabungan di Laut Natuna Utara dan Pulau Natuna, serta melibatkan otoritas sipil seperti Polri, Pemerintah Provinsi, dan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla). Pemerintah juga berkewajiban meningkatkan kinerja personil dan alutsista di pangkalan TNI AU dan TNI AL di Pulau Natuna agar semakin terintegrasi dengan seluruh kekuatan tempur TNI diseluruh wilayah nasional. (Republika, 16 Juli 2020)
Beberapa ketentuan hukum yang dapat menjadi acuan opini :
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.Â
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 tahun 2016 tentang larangan penangkapan dan atau pengeluaran lobster (Panulirus), kepiting (Scylla), dan rajungan (Portunus pelagicus).
- Ketetapan United Nations Convention for The Law of The Sea (UNCLOS) atau konvensi Hukum Laut PBB pada 1982.
Kesimpulan terkait :
Perijinan kembali ekspor benur (benih lobster) rawan akan menimbulkan kerusakan ekosistem laut terutama ancaman kepunahan lobster dan beberapa spesies ikan yang menjadi sumber daya alam di Indonesia.
Walaupun sudah ada ketentuan tentang pelarangan penggunaan cantrang atas dasar penyelamatan ekosistem laut, mendapat penolakan dari kalangan nelayan atas dasar faktor ekonomi, sehingga pada menteri era Edhy Prabowo mewacanakan mencabut larangan tersebut meskipun masih dalam pembahasan.
Indonesia seharusnya dapat menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah dalam menyelesaikan LCS terutama wilayah Natuna yang menjadi sengketa lima negara Asia, tanpa adanya memihak antara dua negara yang sedang konflik secara internal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H