Mohon tunggu...
M Daffa Rafiecena
M Daffa Rafiecena Mohon Tunggu... Mahasiswa - Memberi inspirasi bukan sensasi

Lahir di Jakarta, traveler, culinary and movies lover, Mahasiswa Hukum, Sedang menata masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kapitalisme dalam RUU Cipta Kerja

28 Februari 2020   19:30 Diperbarui: 28 Februari 2020   19:28 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penolakan Omnibus Law

Sebelumnya saya sudah membuat artikel mengenai omnibus law beserta keimpulannya rencana perampingan ketentuan hukum bisa menjadi bencana bila hanya berdasarkan kepentingan kalangan tertentu, kurangnya sosialisasi yang baik, serta terdapat beberapa poin yang tidak sesuai kepentingan bersama apabila belum (benar-benar) dilaksanakan revisi.

Setelah saya amati beberapa poin dalam omnibus law terutama Ruu Cipta Kerja, kita bisa mengetahui ternyata rencana meramping beberapa ketentuan hanya mementingkan dari sisi investasi yang dibutuhkan dan memberi keuntungan terhadap pengelola perusahaan saja.

Wajar saja kita sangat membutuhkan investasi terlihat dari sisi infrastruktur dan industri kita masih jauh dari negeri jiran, tetapi bukan berarti kita tidak perlu mempertimbangkan kembali, dari sisi manakah yang dirugikan.

Bukan saya ingin menuduh birokrasi kita sekarang menjalankan paham kapitalisme, namun setelah saya amati, pemerintah kita dinilai nekat dalam menyampaikan beberapa poin untuk lima tahun kedepan.

Secara diakui bahwa negeri industri tak bisa terlepas dari kapitalisme dalam upaya memberi keuntungan negara, dan tak perduli lingkungan sekitar dan kerugian yang dialami.

Terasa percuma bila saya menulis artikel ini demi politik Indonesia yang dewasa, apalagi belum tentu pihak yang terlibat membaca artikel ini secara literalis tanpa adanya rasa tersinggung.

Meski begitu artikel yang saya ajukan diharapkan sebagai aspirasi kita sebagai rakyat suatu bangsa dalam berperan menyampaikan aspirasi, walau hampir tak terdengar dan terlihat sekalipun.

Disini beberapa poin yang membuat Ruu Cipta Kerja yang dirasa berorientasi pada upaya mendapatkan investasi.

Hak Buruh Dikurangi

Sekilas dari rancangan mengenai cipta kerja yang ada, terdapat beberapa ketentuan dirasakan lebih banyak mudaratnya yang alih-alih rancangan tersebut dibilang mengurangi beban kerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan.

Setelah saya telusuri rancangan tersebut, sebagian besar mengurangi bahkan menghilangkan hak pekerja yang ada seperti penghapusan upah minimum, jam kerja yang fleksibel penghapusan pesangon dan jaminan sosial, bahkan tenaga kerja asing tanpa skill dipermudah untuk masuk.

Sebenarnya poin-poin yang dimaksud berpotensi hanya menguntungkan pengusaha dalam peningkatan produksi dengan cara mengurangi hak buruh secara langsung dan tidak sesuai dengan kaidah beberapa sila yaitu : “Kemanusiaan Bagi yang Adil dan Beradab”, dan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Dan maaf untuk saat ini tanah air tercinta sepertinya sedang tidak sesuai dengan ideologi yang ada yaitu kaya semakin kaya, miskin semakin miskin, kaum muda hampir melupakan budaya dan adat mereka, mental kita yang belum dewasa, lebih parah lagi pancasila dijadikan alat permainan politik dan seolah-olah musuh terbesar pancasila adalah agama, menurut saya argumen tersebut sangat berlebihan.

Kembali pada poin-poin omnibus law Ruu Cipta kerja pada awalnya sudah dirancang pada jaman orde baru,kemudian birokrasi kita bakal menerbitkan kembali dengan alasan investasi, setelah pemberitaan dan aksi penolakan dimana-mana tinggal ngeles aja katanya salah ketik gara-gara mengubah ruu menjadi peraturan pemerintah.

Kerusakan Lingkungan yang Menjadi-jadi

Selain ketentuan yang berpotensi mengurangi hak diperlukan oleh pekerja, ternyata terdapat pula poin yang mengancam keberlangsungan lingkungan, salah satunya menghilangkan sanksi bagi perusakan lahan untuk membuka usaha.

Hal tersebut seakan menciptakan kebebasan pengusaha dengan seenaknya membuka lahan untuk usaha seperti pertambangan batu bara, perkebunan sawit, hingga lahan untuk perumahan atau industri.

Sebenarnya saat ketentuan AMDAL masih berlaku hingga saat ini, masih saja terjadi gangguan ekologi karena ketamakan sifat manusia seperti pembakaran hutan dan genosida terhadap satwa asli yang sebenarnya merasa terganggu dan kebingugan karena kehilangan habitatnya, namun justru dianggap ancaman dan hama akibat ulah mereka sendiri.

Parahnya lagi bahwa kejahatan lingkungan disebut tidak akan menjadi sanksi pidana lagi, melainkan hanya sanksi administratif, saat dunia sedang mengalami krisis lingkungan akibat dari persaingan negara kapitalisme, dan negara lain berupaya mengelola energi terbarukan, lain hal dengan Indonesia saat ini masih berpegang pada energi fosil yang diperkirakan 20 atau 30 tahun lagi akan habis karena banyak penggunaan lahan untuk pertambangan jika tidak digunakan kembali maka mengancam keberlangsungan ekologi global terutama Indonesia memiliki hutan tropis terbesar didunia setelah Brazil dan disebut sebagai paru-paru dunia.

Lucunya birokrasi kita termasuk kementerian terkait masalah lahan dan rancangan ketentuan, masih saja memeprtahankan budaya ngeles hingga cenderung mengabaikan pendapat aktivis yang seakan-akan masalah tersebut kecil dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Rupanya birokrasi kita cuma berpikir bahwa tidak cara lain lagi selain mengurangi ketentuan yang seharusnya dibutuhkan (secara sembrono) untuk memenangkan persaingan kapitalisme, dan dinilai kurang kreatif.

Opini Kejujuran

Setiap orang pasti berhak mengutarakan opini berdasarkan kejujuran versi masing-masing, apalagi saya berargumen tentang kejanggalan rancangan ketentuan tersebut.

Indonesia sebenarnya sudah banyak dilirik investor, ketentuan yang bakal dihilangkan sebenarnya tidak tumpang tindih, hanya saja mengikuti jalur kapitalisme, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap penyebab utama penghambat investasi adalah birokrasi yang tidak beres seperti perijinan yang rumit, dan kemalasan terhadap pemberantasan korupsi.

Kita bisa lihat sejak KPK yang sudah diintervensi sistem kerja tak seperti dulu lagi, seperti molornya kasus Harun Masiku, dan 36 kasus yang belum terpecahkan dihentikan.

Negara kita sudah nekat merombak ketentuan seharusnya tidak perlu sebagai jalan pintas agar mempermudah memperoleh investasi, dan tergolong cukup nekat.

Secara logika bahwa negara ini sudah menciptakan hukum bahwa pada pasal pertama negara selalu benar, dan pada pasal kedua jika negara salah kembali pada pasal pertama.

Sadar diri (evaluasi) sangat dibutuhkan untuk negara kita dari awal, salah satunya pemboikotan sawit Indonesia dilakukan pada Uni Eropa kemudian kita perjuangkan mati-matian, padahal temukan dulu penyebab boikot tersebut seperti faktor lingkungan terutama pembakaran hutan yang menjadi-jadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun