Belum lama ini, saya mencoba pengalaman bekerja paruh waktu (part-time) di sebuah perusahaan logistik yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang. Saya bekerja selama 12 jam dalam sehari dengan bayaran sebesar Rp110 ribu. Setelah merasakan sendiri jam kerja yang panjang dan melelahkan tersebut, saya mulai memikirkan ketidakadilan yang sering dialami oleh para pekerja harian atau part-time di Indonesia, terutama di sektor-sektor seperti logistik dan jasa pengiriman barang yang menuntut tenaga fisik dan waktu.
Ketimpangan Upah dan Kebutuhan Hidup
Realitas yang dihadapi pekerja harian ini sangat kontras dengan meningkatnya biaya hidup di Indonesia. Dengan upah Rp110 ribu untuk 12 jam kerja, sulit membayangkan bagaimana pekerja bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, dan tempat tinggal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata garis kemiskinan di Indonesia pada 2023 adalah sekitar Rp505 ribu per orang per bulan. Dengan asumsi pekerja harian hanya mendapat penghasilan sekitar Rp3 juta per bulan (jika bekerja penuh tanpa libur), ini hanya sedikit di atas garis kemiskinan dan jauh dari layak untuk hidup nyaman.
 Beban Kerja yang Tidak Seimbang
Pekerjaan di sektor logistik sering kali melibatkan tugas berat, seperti memindahkan barang, bekerja di bawah tekanan waktu, serta beradaptasi dengan lingkungan kerja yang penuh tantangan. Meskipun beban kerja sangat tinggi, kompensasi yang diberikan kerap tidak sebanding. Bayangkan bekerja selama 12 jam, mengangkat barang berat secara terus-menerus, namun menerima bayaran yang bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ketimpangan ini mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap tenaga kerja di sektor ini.
Tidak Ada Perlindungan bagi Pekerja Paruh Waktu
Selain masalah upah, pekerja harian juga menghadapi minimnya perlindungan sosial. Sebagai pekerja tidak tetap, mereka sering kali tidak mendapatkan jaminan kesehatan, tunjangan hari tua, atau hak cuti. Padahal, pekerjaan mereka sama pentingnya dengan pekerja tetap dalam mendukung operasional perusahaan. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pekerja paruh waktu umumnya tidak terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan, sehingga mereka rentan terhadap risiko kecelakaan kerja atau masalah kesehatan.
Perspektif Perusahaan: Efisiensi atau Eksploitasi?
Bagi perusahaan, sistem kerja harian atau part-time sering kali dianggap lebih efisien. Dengan tidak perlu memberikan tunjangan atau kontrak jangka panjang, perusahaan dapat mengurangi biaya operasional. Namun, apakah pendekatan ini tidak mendekati eksploitasi? Jika pekerja hanya dianggap sebagai alat produksi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan mereka, maka perusahaan berisiko kehilangan loyalitas tenaga kerja dan bahkan menghadapi kritik dari masyarakat.
Solusi: Meningkatkan Upah dan Regulasi
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu mengkaji ulang regulasi mengenai upah minimum pekerja harian. Penetapan upah minimum harus memperhitungkan beban kerja serta kebutuhan hidup layak. Selain itu, perusahaan perlu diberikan insentif untuk memastikan pekerja harian mendapatkan hak-hak dasar, seperti jaminan kesehatan dan perlindungan kerja.