Sore itu (Selasa, 30.10.2012) saya dan para sahabat berkumpul di rumah salah seorang dosen. Agendanya, nyate dan kumpul bareng. Pagi hari sekitar pukul 8 (di hari yang sama) ada pesan BBM masuk, berisi undangan nyate dan kumpul bareng. Saya menamakan agenda ini "ritualalakita", alasannya karena setiap ada momentum dan waktu yang bagus kita buat agenda nyate dan kumpul bareng. Agenda yang biasa kita lakukan bermacam-macam, mulai dari diskusi sampai sharing berbagai hal, ya pokoknya nggak jauh-jauh lah sekitar masalah akademis dan masalah sosial. Kegiatan seperti ini bagi saya lebih menarik, selain tidak formal, santai dan bisa lepas menyampaikan ide/gagasan. Inilah "ritualala kita".
Sampai di lokasi, saya dan sahabat menyiapkan perangkat-perangkat yang dibutuhkan. Sambil menunggu sahabat yang lainmerapat, kita nusuk sate dan nyiapin apinya. Saat membuat lingkaran sambil nusuk sate saya, baru sadar kalau ada sahabat yang baru saja habismunaqosah(istilah ujian skripsi atau tugas akhir). Sontak saya berpikir, berarti undangan ini untuk syukuran yang habismunaqosah. Undangan pagi itu memang tidak menyebutkan untuk syukuranmunaqosah, pikirku agenda ini pengganti nyate Idul Adha yang sempat tertunda.
Akhirnya, nyate dan kipas-kipas di taman rumah pun selesai, dan semua menu juga sudah siap. Agenda inti telah menanti, yaitu makan bareng. Sebelum acara inti biasanya ada sedikit sambutan dari tuan rumah tauapun yang punyahajat (kali ini dua calon sarjana yang sama-sama habismunaqosah) tapi sayang dua calon sarjana ini tidak bersedia ngasihsambutan, mungkin terlalu larut dalam kebahagian sampai tak tahu apa yang hendak dikatakan. Semoga menjadi sarjana yang progresif.
Bagi saya, istimewanya acara syukuran munaqosahini karena dihadiri seorang professor dari Amerika, beliau seorang antropolog, yang juga rutin mengikuti "ritualala kita". Beliau mendapat jatah sambutan dan memotivasi para sahabat yang belummunaqosah. Walau tidak panjang, pesan beliau cukup menarik dan mendalam. Pesannya, "seorang sarjana akan menghadapi dunia baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya". Sebuah pesan yang singkat tapi memiliki makna yang sangat mendalam. Lazimnya seorang sarjana, bila ia tidak memiliki tujuan setelah sajana, karya maupun jaringan, ia akan galau menghadapi dunia barunya. Sudah banyak sarjana yang kebingungan memikirkan apa harus dilakukannya setelah sarjana. Inilah masa transisi yang harus dihadapi dan sering menimpa seorang sarjana.
Sarjana yang kreatif, progresif dan memiliki jaringan yang bagus nggak akan larut dalam kegalauan. Dia akan menghadapi masa transisi hidupnya dengan tegar, dan nggak harus takut menjalaninya. Menurut saya, komunikasi yang baik akan bermanfaat bagi seorang sarjana. Dia akan mampu meracik kehidupan barunya dengan kreatif. Tinggal pintar-pintar memanfaatkan setiap momentum dan terus belajar dari siapa saja. Kalau seorang sarjana merasa mapan dengan ilmu yang telah diperoleh itu pertanda "kiamat" bagi dirinya.
Penutup tulisan ini, saya kutipkan pernyataan Gus Mus, "jangan pernah berhenti belajar".Yakinlah, segala usaha yang kita lakukan pasti akan sampai pada sebuah akhir yang indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H