Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) atau Geotermal sering kali dipandang sebagai solusi energi bersih dan berkelanjutan. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu, terutama jika kita melihat dampaknya terhadap lingkungan sekitar, termasuk ketersediaan air tanah, kesuburan hutan, dan kehidupan masyarakat setempat. Di Kota Batu, proyek ini menimbulkan kekhawatiran serius yang patut menjadi perhatian.
Pembangunan PLTPB memiliki potensi besar untuk mengurangi ketersediaan air tanah. Proses eksploitasi panas bumi memerlukan pengeboran yang dalam, yang dapat mengganggu aliran air bawah tanah.
Dalam banyak kasus, ini menyebabkan penurunan level air tanah, yang pada gilirannya berdampak pada pasokan air untuk kebutuhan domestik, pertanian, dan ekosistem hutan di sekitarnya.
Teori dari pakar lingkungan seperti William M. Alley dalam bukunya Sustainability of Ground-Water Resources menegaskan bahwa pengambilan air tanah yang tidak terkendali dapat menyebabkan krisis air di masa depan, terutama di daerah yang bergantung pada sumber daya ini.
Di kawasan hutan yang menjadi penyangga ekosistem, kerusakan pada air tanah juga dapat menyebabkan penurunan kesuburan tanah. Hutan-hutan di sekitar Kota Batu, yang kaya akan keanekaragaman hayati, bisa kehilangan keseimbangannya karena perubahan kondisi hidrologis, yang kemudian berdampak pada penurunan produktivitas hutan dan rusaknya habitat alami.
Masyarakat yang tinggal di sekitar area proyek juga merasakan dampak negatif dari pembangunan PLTPB. Gangguan terhadap aliran air tidak hanya memengaruhi ekosistem, tetapi juga mengganggu mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada pertanian dan sumber daya air lokal.
Dalam banyak kasus, masyarakat tidak diberikan pemahaman yang memadai mengenai risiko yang mereka hadapi. Sebagai hasilnya, mereka menjadi korban dari proses pembangunan yang tidak transparan dan minim partisipasi.
Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batu Nomor 7 Tahun 2022 menjadi pusat kontroversi terkait proyek PLTPB ini.
Minimnya sosialisasi terkait perda ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa lokasi-lokasi proyek PLTPB, yang memiliki dampak lingkungan besar, justru terindikasi dirahasiakan? Proses pengambilan keputusan yang seharusnya melibatkan partisipasi publik tampaknya dikesampingkan.
Kemandulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batu dan Sekretariat Dewan (Setwan) dalam menanggapi kekhawatiran publik semakin memperburuk keadaan.