Mohon tunggu...
Andi Syahrir
Andi Syahrir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sahabat Kristen-Cinaku Bernama Yenny

10 Desember 2016   14:56 Diperbarui: 10 Desember 2016   15:32 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Panasnya politik lokal di Jakarta telah membakar banyak hal. Persahabatan. Pertemanan. Rasa persaudaraan. Kita sedang berjalan dengan langkah pasti menuju jurang perpecahan dengan mengatasnamakan hal yang begitu sensitif. Agama.

Sepertinya, kita perlu menengok kembali kisah-kisah inspiratif tentang merawat kerukunan beragama dan antarumat beragama. Saya menemukan kisah singkat tentang umat Muslim yang menebar rasa persaudaraan.

Dalam sebuah berita di merdeka.com edisi 13 Juni 2016 yang berjudul “5 Kisah Sejuk Muslim Bantu Pembangunan Gereja di Pelbagai Negara”, kita mendapati umat Islam yang membantu pembangunan gereja di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

Kisah itu menawarkan kepada kita tentang manisnya hidup berdampingan kendatipun dengan pijakan keyakinan yang berbeda. Ada banyak kisah sejenis yang ditunjukkan umat Islam terhadap saudaranya yang beragama lain.

Di sisi lain, pun begitu banyak sebaran kisah sejuk yang ditunjukkan oleh mereka yang non-Muslim. Salah satunya, kisah tentang sahabatku ini.

Saya akan menulis tentang sahabat non-Muslimku tanpa menafikan pesan-pesan damai yang dibawa oleh saudara Muslimku. Keharusan berbuat baik terhadap saudara yang tak sekeyakinan tidak lantas menegasikan sikap kritis yang proporsional atas saudara sekeyakinan.

Saya merasakan gejala “toleransi” yang konstruksinya mengusik rasa keadilan. Atas nama menjaga kerukunan dengan saudara lain agama, kita lantas tidak lagi proporsional mengkritisi saudara seagama. Saya membaca kenyinyiran di dalamnya, alih-alih menjaga ukhuwah sesama Muslim.
*** *** ***
Di penghujung tahun 2005 hingga awal 2006 yang lamanya sekitar empat bulan, saya dikirim oleh kantor tempatku bekerja untuk bertugas di Jakarta. Saya tidak sendirian. Ada tiga kawan lain dari berbagai daerah yang sama-sama ditugaskan di kantor pusat. Seorang mewakili “biro” Batam, satu dari Lampung, dan satunya dari Banjarmasin. Saya sendiri mewakili Makassar.

Itu adalah kali pertama saya ke Jakarta dan langsung menetap dalam waktu cukup lama. Oleh kantor, saya disewakan kamar pada sebuah rumah dimana pemiliknya tinggal bersama-sama di rumah itu. Keluarga beretnis Betawi. Tempatnya dekat dengan kantorku. Ditempuh hanya dengan berjalan kaki beberapa menit.

Di kantor, saya dengan tiga teman tadi menempati lantai dua bersama dengan karyawan lain. Mayoritas laki-laki. Hanya beberapa yang perempuan. Salah satu dari perempuan yang sedikit itu, saya mengenali seorang perempuan tomboi berambut lurus dipotong pendek. Rajin. Cekatan. Bicaranya sedikit.

Suaranya terdengar melengking-lengking. Nadanya hangat dan selalu diiringi senyum tatkala berbincang dengan orang lain. Ringan tangan. Saya menyebutnya orang yang memiliki jiwa sosial tinggi. Namanya Yenny.

Di keseharian, kami jarang berinteraksi dalam hal pekerjaan karena dia di bagian yang berbeda. Ada hal yang saya kenali dari kebiasaannya. Dia suka bawa makanan kecil ke kantor. Entah kenapa, dia kerap menyimpan sebagian di atas mejaku. Khusus untukku. Gara-gara itu, kawan-kawan lain sering meledekku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun