Sorban itu terlihat agak kotor. Bernoda kekuningan. Itu bukan sorban pada umumnya. Namanya kafiyeh. Bukan kafiyeh sembarangan. Milik Yasser Arafat, pemimpin besar Palestina. Museum yang memamerkannya sengaja tak mencucinya karena menjaga nilai historisnya. Kafiyeh itu dikenakan sang presiden hingga di saat-saat terakhirnya.
Arafat dengan kafiyeh hitam putihnya adalah dua entitas yang tak bisa dipisahkan. Perjuangannya yang menginspirasi menjadikan kafiyehnya sebagai simbol perlawanan terhadap kezaliman yang banyak dikenakan kaum pergerakan di tanah Arab.
Nun jauh di Asia Tenggara, di negara yang memiliki kekuatan emosional sangat dekat dengan perjuangan Bangsa Palestina, jauh ke timur negeri itu, terdapat seorang pemimpin dengan karakter berpakaian yang begitu kuat. Pakaian yang membawa identitas leluhurnya. Buton. Seorang lelaki bersarung.
Tidak selalu memang sarung dikenakananya. Tapi mayoritas di penampilan-penampilan publiknya, di kesehariannya, sarung bercorak tegas dengan motif kotak-kotak sangat kerap melekat di tubuhnya. Jika membandingkannya dengan pemimpin-pemimpin di seluruh Sulawesi Tenggara, gaya berbusananya paling nyentrik.
Kepiawaiannya berpolitik, praktis menjadikannya politisi paling kuat di tanah Buton. Pemimpin partai politik terbesar di Bumi Anoa. Manuvernya yang licin dan tangkas, membuatnya sosok politisi paling kontroversial di Sulawesi Tenggara. Dia bernama Samsu Umar Abdul Samiun. Orang mengakrabinya dengan Umar Samiun.
Jika penelusuran jejak politiknya dimulai pada Pemilu 2009, didapati Umar Samiun terseret kasus money politik yang nyaris saja membatalkan kepesertaannya sebagai calon legislatif. Dia lolos dari masalah itu. Lalu di Pilkada 2012, dimana dia maju sebagai calon Bupati Buton. Dia sebenarnya kalah pada pilkada itu, tapi gugatan pilkada yang merekomendasikan pemilihan suara ulang membalik peruntungannya menjadi pemenang.
Hingga kini, kemenangannya terus dibayang-bayangi dengan kasus money politik yang diduga melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang kini menjadi pesakitan. Hingga jelang Pilkada 2017, Umar Samiun kembali maju. Kali ini lebih perkasa sebagai petahana. Lebih kokoh sebagai ketua partai terbesar di Sulawesi Tenggara.
Hasilnya, dia merebut dukungan partai politik dengan total 20 kursi dari 25 kursi di DPRD Buton. KPUD Buton terpaksa memperpanjang masa sosialisasi sekaligus pendaftaran karena belum ada kandidat yang “sanggup” melawannya. Saya kira, dia sengaja menyisakan lima kursi agar tetap ada lawan sehingga pilkada tetap dihelat. Pemenangnya sudah bisa diketahui. Itulah Umar Samiun. Lelaki bersarung dari tanah Buton.
Dia selalu mengenakan sarung dengan motif kotak-kotak. Barangkali dia memahami benar filosofi sarung yang dikenakannya selain sebagai identitas ke-Buton-an yang begitu dibanggakannya. Jika kotak-kotak diibaratkan sebuah jalan, maka setiap petaknya adalah pilihan-pilihan yang memiliki konsekuensinya masing-masing-masing. Kanan – kiri – atas – bawah. Setiap kotak adalah jalan yang berbeda.
Ada jalan alternatif, yakni melangkah diagonal. Tetapi itu berarti menjauhi tujuan. Hidup adalah mendekati tujuan, dan itu berarti menghadang rintangan. Barangkali Umar Samiun sangat memahami makna sarung kotak-kotaknya. Atau dia punya tafsir lain. Entahlah.
Tetapi pencapaian politik sesungguhnya barulah pada tahap menggenggam instrumen. Ada tujuan yang lebih hakiki dari kegiatan politik sebagai instrumen kekuasaan, yang kata Aristoteles, menghantarkan manusia pada hidup yang baik. Seorang pemimpin akan mengantar orang yang dipimpinnya pada kehidupan yang baik atau yang lebih baik.
Mari kita lihat kehidupan di Buton. Cukup dua parameter. Tingkat pengangguran dan produk domestik regional bruto (PDRB)-nya. Orang yang bekerja dan nilai ekonomi yang diproduksi. Kita pinjam data Badan Pusat Statistik (BPS) setempat.
Tahun 2012, ketika itu Buton Tengah dan Buton Selatan masih bergabung, terdapat 1.709 orang pengangguran dari total 104.758 angkatan kerja. Artinya, terdapat 1,6 persen orang yang tidak punya pekerjaan dari total penduduk yang seharusnya bekerja.
Tahun 2015, angkatan kerja tercatat 105.295 orang dengan angka pengangguran 2.044 orang. Dengan demikian, persentase angka mereka yang tak punya pekerjaan terhadap jumlah orang yang seharusnya bekerja mencapai 1,9 persen. Faktanya, persentase pengangguran meningkat.
Berikutnya, laju pertumbuhan PDRB berdasarkan harga konstan. Kita gunakan angka konstan karena lebih realistis menggambarkan kondisi perekonomian sesungguhnya. Dapat melihat pertumbuhan sekaligus mengamati laju inflasi.
Berdasarkan harga konstan tahun 2010, laju pertumbuhan PDRB Buton tahun 2012 mencapai 9,11 persen. Tahun 2015 hanya sebesar 4,17 persen. Penciutannya sangat tinggi. Laju pertumbuhan PDRB-nya termasuk tiga terendah dari seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara dalam rentang waktu yang sama.
Sajian angka-angka ini seharusnya menjadi bahan refleksi apakah capaian-capaian personal seorang pemimpin di panggung politik linier dengan prestasinya membawa daerah ke arah yang lebih baik.
Seorang Moammar Khaddafi, dengan jubah khas etnis Bedouin-nya itu, mati di tanah kelahirannya, Sirte. Dia tidak lari ke luar negeri setelah negaranya dilanda pemberontakan yang didukung dan “dikendalikan” NATO. Khaddafi, sediktator apapun dia di mata Barat, dia mampu menginspirasi banyak orang atas usahanya membangun Libya.
Di bawah Khaddafi, Libya mengratiskan biaya pendidikan dan pengobatan, tidak ada bunga terhadap peminjaman di bank oleh masyarakat, Listrik gratis dan tidak ada pajak untuk listrik. Khaddafy sukses menihilkan hutang luar negeri dan justru memiliki cadangan sebesar 150 miliar dolar Amerika Serikat.
Pajak dan dan restribusi sesuatu yang dilarang oleh pemerintahannya, biaya pendidikan keluar negeri ditanggung pemerintah. Dan anda perlu tahu, jika seorang penduduk Libya membeli mobil, maka pemerintah memberikan subsidi sebesar 50 persen dari total harga mobil dan mereka yang mencicil tidak dikenakan bunga.
Bung Karno, memilih mati di Wisma Yaso, dalam sepi nyaris tanpa teman. Dia harus menanggung deritanya sendirian ketimbang membenturkan rakyatnya, suatu yang begitu mudah dengan kharisma yang dimilikinya.
Yah, Bung Karno dengan peci hitam dan jas putih ala militernya yang membuatnya digelari The Indonesian Dandy, telah membawa negeri ini merdeka, lalu mati tersia-siakan.
Arafat, Khaddafi, Soekarno adalah pemimpin-pemimpin dengan gaya busana yang ikonik. Itu pun dimiliki oleh seorang Umar Samiun. Seorang lelaki bersarung. Sayang sekali, dia memilih satu periode pemerintahannya menempati rumah jabatan di Kota Baubau. Tidak bersama rakyatnya menghirup udara malam yang sama di Kabupaten Buton.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H