Di institusi negara seperti contoh yang disebutkan di atas, telah mentradisi kurban dengan mengatasnamakan lembaganya. Paling tidak ada tiga cara yang kerap dilakukan saat berqurban.
Pertama, sejumlah orang di instansi itu urun-urunan untuk membeli hewan qurban (biasanya sapi). Mereka lalu “melaporkan” qurban dari dinas X sebanyak tiga ekor sapi, misalnya. Penerima qurban akan diberitahu bahwa daging qurban yang diterimanya berasal dari dinas X.
Jika penerima qurban sedikit “kepo”, dia akan menanyakan siapa kepala dinasnya. Dan kepadanya ucapan terima kasih dihaturkan, baik langsung atau tidak langsung. Padahal, belum tentu yang berqurban itu adalah sang kepala dinas. Tidak berarti bahwa kita harus menunggu-nunggu ucapan terima kasih.
Cara kedua, pimpinan instansi atau pejabat di bawahnya berqurban secara mandiri (tanpa urunan), lalu mengatasnamakan instansinya saat dilaporkan untuk diumumkan.
Ketiga, instansi itu mencari “dana taktis” dari anggaran yang dikelolanya, selanjutnya dibelikan hewan qurban. Dilaporkan dengan mengatasnamakan institusi. Coba tanya Pak Imam yang menyembelih, atas nama siapa qurban ini diniatkan? Pasti sejumlah orang, bukan institusi.
Terlepas dari diskursus qurban oleh “siapa” atau “apa”, Anda mencium “bau tak sedap” di cara yang terakhir? Jika ya, penciuman Anda cukup tajam. Ritual ibadah itu seharusnya wangi, bukan berbau tak sedap.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H