Mohon tunggu...
Andi Syahrir
Andi Syahrir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

[Resensi Film] Eksplorasi Tradisi Uang Mahar Adat Bugis-Makassar

3 September 2016   10:07 Diperbarui: 4 September 2016   13:04 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.makassarcorner.com

Film Uang Panaik mencoba meluruskan budaya uang panaik. Mengutip dialog di film ini, uang panaik tidaklah harus disebutkan jumlahnya. Uang panaik merupakan bentuk penghargaan calon suami terhadap calon istrinya. Batasannya pada kemampuan relatif dari calon suami.

Degradasi makna uang panaik mulai terjadi ketika keluarga perempuan tidak menyukai laki-laki yang hendak melamar. Uang panaik lalu ditinggikan. Seiring zaman, pembengkokan budaya semakin melenceng. Besaran uang panaik didasarkan seberapa tinggi pendidikan seorang perempuan, seberapa biru darahnya, dan apakah namanya sudah didahului dengan sapaan haji (meskipun sebutannya seharusnya hajjah).

Tentunya, tidak ada gading yang tak retak. Film ini juga masih memiliki kekurangan di sana-sini. Pemeran Ibu Ancha salah satunya. Aktingnya sebagai orang tua kolot yang berusaha mengejar modernitas sepertinya dikemas agak berlebihan, sehingga beberapa akting kocaknya menjadi garing.

Kita juga menemukan polesan berlebihan pada teman-teman arisan Ibu Risna, yang empat orang itu. Kenyinyiran mereka sedikit berlebihan dan tidak alami. Akting mereka terlihat kurang begitu baik.

Eksplorasi konflik yang melibatkan ayah Risna dengan debt collector tidak terlalu dikemas dengan apik. Lalu disusul penyelesaian yang kurang begitu kuat ketika Ancha menyerahkan begitu saja uang panaik untuk melunasi utang calon mertuanya. Scene ini seharusnya dapat dibuat lebih mengharu biru dan 'dimeriahkan' oleh kejenakaan Abu dan Tumming.

Terlepas dari kekurangan kecil itu, Film Uang Panaik telah menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Arahan sutradara Halim Gani Safia dan penulis skenario Amirl Nuryan benar-benar ciamik. Menerobos 'kemapanan' film nasional dengan hadirnya bakat-bakat lokal dari daerah. Kemampuan mereka setara dengan pesohor ternama. Dalam banyak hal, Nur Fadillah, dkk malah lebih baik.

Salut dengan akting Nur Fadillah. Penjiwaannya sempurna. Angkat topi buat Abu dan Tumming. Tanpa mereka, film ini hanya berisi romantisme dua sejoli. Padahal, hidup bukan hanya tentang haru biru percintaan. Hidup juga adalah tentang menertawakan diri sendiri agar kita tak lupa bahagia. Ditunggu dengan sangat sekuelnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun