Pada sebuah penerbangan, dari balik jendela pesawat, saya melihat sebuah bukit raksasa seperti dikelupas. Coklat warnanya. Seperti kepala yang habis digunduli. “Rambut” hijau yang tersisa, menyerupai pola lingkaran obat nyamuk bakar. Kiranya itu pohon-pohon sawit yang masih kecil. Hamparan perkebunan sawit.
Di ufuk lainnya, “rambut-rambut” hijau malah tak ada. Hanya tanah kecoklatan yang seperti undakan-undakan. Bukan hanya terkelupas. Tapi terkeruk dalam-dalam. Ini kawasan tambang. Dari atas langit, daratan Kabupaten Konawe Utara terkelupas dalam dua bentuk ini.
Dalam beberapa tahun terakir, perkebunan sawit dan pertambangan memang merupakan dua jenis investasi primadona. Data dari akun Facebook “Walhi Sulawesi Tenggara”, ada 39 izin yang dikeluarkan pemerintah untuk perkebunan sawit dan 136 untuk pertambangan di daerah dengan luas daratan 500.339 hektar ini.
Jumlah ini sebenarnya jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Yang lalu-lalu, banyak perusahaan yang mengantongi izin tambang di tengah laut. Tambang nikel, lho. Bukan gas atau minyak. Koordinat yang mereka peroleh dari pemerintah daerah menunjukkan bahwa lokasi tambang mereka di atas laut. Faktanya, mereka mengeruk tanah yang ada di daratan. Akibatnya, banyak ribut-ribut tentang tumpang tindih lahan. Yah, wajarlah. Lahan seupil-upil diperebutkan ratusan penambang.
Untungnya, pemerintah pusat cepat-cepat merespon. Melakukan moratorium. Bagi penambang yang tak membangun pabrik, tidak boleh beroperasi. Barulah kelihatan, mana penambang yang benar-benar penambang. Mana yang sekadar mengeruk tanah untuk dibawa pergi.
Kehadiran perkebunan dan tambang telah mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Secara teoritik, investasi selalu menjanjikan perbaikan taraf hidup. Di sisi lain, investasi –terutama terkait pemanfaatan sumberdaya alam berupa lahan– juga menawarkan efek samping. Lingkungan yang koyak-koyak.
Bicara baik-baiknya dulu. Perbaikan taraf hidup. Perbaikan kesejahteraan. Pengentasan kemiskinan. Atau apalah namananya. Kita lihat data tahun lalu. 2015. Kata BPS, tingkat kemiskinan di Konawe Utara 9,97 persen dari total penduduk sebanyak 58.401 jiwa. Nyaris sepersepuluh penduduknya terkategori miskin. Hitung sendiri berapa jumlahnya.
Anda tahu masyarakat yang seperti apa disebut miskin oleh BPS? Adalah mereka yang pengeluaran per kapitanya sebesar Rp 208.232 per bulan. Ini data tahun 2014. Data 2015 lain lagi. Belum ada tapi. Jika pun ada, paling meningkat seribu atau dua ribu rupiah. Ingat ini besaran pengeluaran. Bukan pendapatan. Disebut poverty line. Garis kemiskinan.
Bayangkan saja, belanja Anda hanya dua ratus ribu rupiah. Harga beras ukuran lima puluh kilogram saat ini antara empat ratus hingga lima ratus ribu rupiah. Berarti dengan uang Rp 200 ribu, beras 25 kilogram nyaris tak bisa terbeli. Memang cukup sih untuk makan sebulan seorang diri. Tapi makan nasi tok. Tak ada lauk pauknya. Barangkali cuma ditemani garam. Anda tahu, garam pun dibeli. Ada yang tak dibeli. Air laut. Nasi plus air laut? Sanggup? Sebulan penuh?
Bayangkan saja kalau poverty line tadi kita angkat menjadi Rp 300 ribu per bulan. Jumlah yang miskin pasti akan berlipat. Anda sudah sanggup hidup dengan pengeluaran Rp 300 ribu sebulan? Tidak? Kita angkat lagi menjadi Rp 400 ribu. Berapa jumlah orang miskin sekarang?
Baiklah, kita kembali ke soal sawit dan tambang. Agar adil, saya akan mengemukakan bahwa angka kemiskinan pada tahun 2011 sebesar 13,32 persen dan terus menerus turun hingga mencapai 9,97 persen pada tahun 2015. Sekarang pertanyaannya, seberapa kuatkah investasi perkebunan dan tambang tadi menekan angka kemiskinan? Berapa kontribusi perkebunan sawit dan tambang atas pengurangan angka kemiskinan itu?