Dalam sebuah penerbangan, sekelompok orang tak henti berbicara satu sama lain. Riuh sekali. Ribut. Entah apa yang mereka percakapkan. Tidak ada yang mengerti karena mereka menggunakan bahasa asing. Bahasa Cina. Entah dialek Shanghai, entah Kanton. Atau barangkali bukan dialek keduanya. Tidak ada yang paham.
Mereka tak mengerti tentang antrian. Maunya nyelonong saja. Penumpang lain cukup terganggu dengan kebisingan yang mereka ciptakan. Juga tidak nyaman dengan tingkah mereka. Sepertinya, tak terdidik. Mereka pekerja. Mungkin buruh kasar yang murah. Ini pengalaman seorang teman di Facebook ketika mudik beberapa hari lalu.
Kelompok warga asing asal negeri tirai bambu ini merupakan bagian dari gelombang imigran yang terus-menerus datang ke Sultra dalam satu dua tahun terakhir ini. Rumor yang berkembang, mereka datang dengan menggunakan visa wisata. Habis Lebaran nanti, kawan-kawan jurnalis atau aktivis lainnya bisa mengkonfirmasi data terkini di kantor imigrasi.
Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan dari fenomena ini. Pertama, bahwa jika benar mereka datang dengan menggunakan visa wisata, berarti mereka tidak diperbolehkan melakukan aktifitas di luar perpelancongan, termasuk bekerja. Kunjungan mereka tentu saja lebih singkat.
Masifnya arus “wisatawan” asal Cina ini seyogyanya linier dengan kunjungan obyek-obyek wisata yang ada di Sultra. Coba tengok data di instansi pemerintah yang mengurusi pariwisata. Berapa peningkatan wisatawan asal Cina? Atau secara faktual kita datangi lokasi wisata, berapa banyak wisatawan Cina yang menyelam di Pulau Hoga, mandi-mandi di Pantai Toronipa, atau jalan-jalan di Benteng Keraton Baubau.
Saya menduga, kelompok warga asing ini hanya bisa kita temui di bandara. Setelah itu mereka masuk di “kamp konsentrasi” pertambangan sebagai tenaga kerja kasar dengan upah yang murah. Oh iya, ngomong-ngomong soal tambang, bukankah sedang moratorium karena investor –yang kebanyakan dari Cina– enggan membangun pabrik pengolahan?
Jika memang benar bahwa mereka pekerja tambang, apakah mereka masuk dalam kategori perusahaan tambang yang sedang membangun smelter? Dan sekalipun mereka benar adalah pekerja tambang yang perusahaannya membangun pabrik, mereka tetap ilegal karena karena diselundupkan sebagai wisatawan.
Ini sebatas dugaan. Mudah-mudahan salah. Saya selalu menyukai jika prasangka buruk saya salah. Tapi saya juga senang menduga-duga karena menduga adalah proses untuk membuktikan kebenaran.
Kedua, jika mereka menggunakan visa kerja –dalam rangka bekerja sebagai buruh tambang– hal ini perlu dikritisi karena sebagai “tuan rumah”, warga Sultra memiliki ribuan tenaga kerja untuk dipekerjakan pada sektor-sektor yang tak membutuhkan pendidikan dan keterampilan tinggi dan terlatih.
Bukankah pemerintah daerah selalu bersenandung bahwa keberadaan industri tambang berarti serapan tenaga kerja di lokasi investasi? Kalau buruh kasarnya saja harus didatangkan khusus dari Cina, bagaimana dengan tenaga terampil dan atau ahlinya?
Kalimat indah bernama “efek multiplier” yang juga sering didengungkan, khawatirnya hanya berwujud penjual-penjual mie siram yang berada di sekitar pabrik atau tempat hiburan malam lokal yang pada gilirannya memicu masalah sosial baru.
Kita patut menyikapi persoalan ini dengan segera sebelum muncul persoalan baru yang lebih membahayakan kelangsungan kehidupan bernegara kita, baik dalam hal ekonomi dan sosial. Jangan dulu menyebut persoalan politik jika muaranya soal ideologi. Khawatir, ada yang kejang-kejang kalau ideologi yang dimaksud diasosiasikan dengan Cina, baik yang pro maupun kontra.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H