Mohon tunggu...
Andi Syahrir
Andi Syahrir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjejaki Kematian Abdul Jalil

11 Juni 2016   11:59 Diperbarui: 11 Juni 2016   12:55 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar kematian Abdul Jalil lalu viral. Setidaknya ada dua hal yang membuat perhatian publik begitu tersedot. Pertama, Abdul Jalil mati di tangan polisi. Paling tidak, mati dalam “perlindungan” polisi. Cerita matinya anak negeri di tangan aparat negara bukan barang baru. Bahkan, sedikit menengok sejarah, negeri ini distabilkan dengan membunuhi rakyatnya.

Kematian Jalil menjadi simbol tercerabutnya hak paling asasi. Hak hidup manusia. Dirampas oleh tangan-tangan yang seharusnya memberikan perlindungan sekuat-kuatnya. Nyawanya dicabut ketika berada dalam penguasaan aparat, elemen penegak hukum yang harus memberikan perlindungan terlepas seseorang bersalah atau tidak.

Polisi bukanlah algojo yang harus memutuskan vonis atas seseorang. Pesakitan sekalipun. Dan Jalil bukanlah pesakitan. Dia masih berstatus terduga. Dugaan yang bisa benar, bisa salah, dengan kadar yang sama derajatnya. Kematian Jalil di bawah tanggungjawab polisi telah memutuskan satu mata rantai pembuktian atas benar tidaknya persoalan yang dituduhkan kepadanya.

Soal bahwa Jalil hendak lari. Hendak melawan. Lalu ditembak. Logikanya begini: tahanan dengan tangan terikat hendak melawan dan atau melarikan diri di bawah kendali sekitar 20 orang personil, agak melenceng dari akal sehat. Melencengnya agak jauh.

Data ini barangkali terlalu berlebihan. Taruhlah lima orang polisi saja. Dan sang tahanan yang terikat tali sepatu itu hendak melawan, lalu pilihan paling amannya harus didor. Jika memang demikian, ah, sepertinya polisi kita kurang latihan. Jenderal Badrodin Haiti atau penggantinya perlu menganggarkan biaya pelatihan yang lebih untuk personelnya. Alur pikir inilah yang membuat kematian Abdul Jalil mengusik rasa kemanusiaan kita.

Hal kedua yang membuat kematian Abdul Jalil mendapat perhatian publik adalah fakta bahwa dia seorang pegawai badan narkotika tingkat provinsi. Sekalipun hanya honorer. Sekalipun tugasnya hanya membawa-bawa sampel urine seseorang. Tetapi sedikit banyaknya, dia kemungkinan punya data, informasi, tentang penyalahgunaan narkotika.

Kerja-kerja Abdul Jalil dan institusi besarnya bertaut berkelindan dengan tugas institusi kepolisian. Ada kecurigaan besar publik bahwa kematiannya memiliki linearitas dengan kasus-kasus pelanggaran hukum terkait narkotika.

Seyogyanya, media massa, lembaga bantuan hukum, atau lembaga independen lainnya, melakukan investigasi mendalam atas kasus ini. Media massa, secara khusus, seharusnya tidak sekadar larut dalam “mengeksploitasi” duka cita kerabat ataupun pembelaan-pembelaan aparat.

Media massa seharusnya hadir memberikan fakta dan data yang tak terbantahkan. Biarkan publik yang mengkonstruksi opininya sendiri atas data dan fakta yang tersaji. Tidak tepat jika media turun dengan berita yang beropini. Kebenaran dalam jurnalistik adalah data dan fakta. Diproses dengan kerja-kerja yang terkonfirmasi validitas maupun akurasinya.

Di penghujung tulisan ini, saya hendak mengutip sebuah adagium yang perlu kita renungkan bersama: suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux. Kurang lebihnya berarti, hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya. Atau jangan-jangan kematian Abdul Jalil bukan tentang penegakan hukum, tapi hanya sekadar hendak melukai keadilan. Kita tunggu.***

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun