Mohon tunggu...
Zulkifli
Zulkifli Mohon Tunggu... Guru -

Penggiat Pendidikan dan Pemerhati Lingkungan, konsen memberikan masukan dan kritik pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Membangun Kota Ramah Lingkungan

29 September 2015   19:56 Diperbarui: 29 September 2015   20:22 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencermati kegelisahan pemerintah dan dunia serta pemerhati kota mengenai lingkungan yang cukup memprihatinkan, maka dianggap perlu pengkajian dan penanganan khusus, sebab berkaitan dengan keberlanjutan pembangunan terutama kota-kota besar sebagai paru-paru pembangunan daerah. Olehnya pemerintah harus segera sadar akan permasalahan lingkungan habitat yang dihadapi saat ini. Mengingat kota sebagai tempat aktifitas manusia yang padat, tentu tidak lepas dari keadaan lingkungan yang tidak seimbang. Manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan primer selalu mengubah lingkungannya.

Namun serigkali tanpa disadari kegiatan-kegiatan tersebut menimbulkan akibat sampingan yang merugikan. Teringat KTT Bumi I Rio de Jeneiro (1992) dan di Johnnesburg (2002) menyepakati sebuah kota idealnya memiliki keseimbangan lingkungan ruang terbangun dan ruang tidak terbangun (RTH) 70 : 30 persen dari total luas kota. Ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota, daerah resapan, dan tangkapan air sangat penting bagi keseimbangan kota, tetapi perlu dipertanyakan apakah kota Makassar yang merupakan kota tebesar di Indonesia Timur merealisasikan program tersebut secara sistematis dan konsisten demi terciptanya lingkungan yang asri dan keseimbangan lingkungan kota?

Sederhananya, yang kita rasakan saat ini keseimbangan lingkungannya tidak terjaga. Hampir seluruh area perkotaan dibangun sarana-sarana perkantoran, pertokoan, perumahan, dan sebagainya. Ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota dalam menyeimbangkan lingkungan minim kita dapatkan. Sekira 90 persen kawasan perkotaan terdiri dari bangunan-bangunan dan lebihnya pohon-pohon penyeimbang lingkungan. Hal ini sudah termasuk ketidakstabilan lingkungan antara ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan dan ruang tertutup atau bangunan-bangunan. Krisis lingkungan yang oleh perkembangan teknologi berakibat pencemaran disebabkan karena adanya bahan polusi dan polutan dan emisi gas buang beracun yang tidak diperhatikan kajian efek negatifnya pertanda kita sebagai manusia merelakan alam semakin tidak bersahabat dan membahayakan.

Padahal sesungguhnya lingkungan dapat melakukan pemuaian terhadap zat pencemar. Hanya saja, pemuaian itu terjadi ketika keseimbangan habitat lingkuangan antara daerah pemukiman dengan daerah hijau atau disela-sela bangunan terdapat vegetasi. Timbulnya pencemaran tentu saja erat kaitannya dengan aktivitas-aktivitas manusia sebagai penduduk kota diantaranya. Pertama, kegiatan-kegiatan industri dalam bentuk limbah, zat-zat buangan berbahaya seperti logam-logam berat, zat radio aktif, air buangan panas, (thermal water waste). Kemudian dalam bentuk kepulan sap (smoge), kebisingan, dan populasi udara. Kedua, kegitan transportasi berupa kepulan asap, naiknya suhu udara kota, kebisingan suara kendaraan bermotor merupakan gejala-gejala kerusakan ekosistem lingkungan. Olehnya, perlulah kiranya kita sedikit merenung akan roh dan citra kota.

Realitas demikian menggugah nalar kita akan keberlanjutan habiat lingkungan Kota 20 atau 30 tahun yang akan datang! apa yang akan terjadi dengan wajah perkotaan? Dan seperti apakah habitat kota? Jawabanya, hanyalah ancaman alam semakin mendesak, mengusik, dan membahayakan penghuninya. Wajahnya semrawut, polusi, dan tidak sehat. Tidak salah jika kemudian kota menimbulkan efek sosial yang melahirkan konflik-konflik, genersi urakan, dan perkampungan kumuh.            

Dari sekian hektar luas kawasan kota, lahannya lebih didominasi bangunan-bangunan, sehingga daerah resapan air sangat kurang. Namun ironisnya, pengurangan daerah resapan masih saja berlanjut untuk kelancaran pembangunan. Penimbunan rawa, pengurangan kawasan hijau, untuk kepentingan pembangunan gedung. Mungkin kajian RTH dan AMDAL hanyalah pelengkap administrasi saja sebagai legalitas kelancaran pembangunan tanpa memperhatikan aspek strategisya, karena kecenderungan kita terhadap pembangunan fisik lebih dominan dihampir seluruh wilayah kota, paradigma tentang pembangunan yang berhasil diapresiasi ketika banyak gedung-gedung, sehingga sadar atau tidak,

Kota mengalami degradasi kualitas lingkungan, pencemaran air tanah oleh bakteri besi, unsur logam dan mangan, asap kendaraan dan genangan air hujan menisbahkan bukanlah kota yang ramah dan peduli habitat sebab keasriannya hilang, dan kenyamanannya tiada, dan mungkin yang tercitra hanyalah polusi dan kesemrawutannya. Kemacetan kronis dan pencemaran udara yang pekat membuat warganya hanya dapat menikmati udara segar dan sehat hanya dipagi hari saja, selanjutnya menghirup kembali udara yang tercemar oleh bahan bakar minyak. Udara tercemar dengan resiko kemandulan, infeksi saluran pernapasan, astma, keterbelakangan mental oleh anak, kanker darah, serta berujung kematian bagi yang menghirupnya setiap hari. Ancaman kebakaran di pemukiman padat di musim kemarau, dan banjir dimusim hujan. Lalu seperti inikah wajah perkotaan kita?

Jawabnya, Pemerintah harus mereformasi tata ruang perkotaan. Perencanaan kota harus lebih taransparan dan akuntabel berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis dan perencanaan yang matang, menyeluruh dan sejalan dengan kondisi lingkungan. Sebab Keharmonisan kota memudahkan hidup lebih nyaman, asri dan sehat. olehnya, pemerintah harus menyegerakan kota hijau yang berkelanjutan (Sustainable City). Membangun dengan penghijauan sebagai area tertentu akan mendapatkan posisi kota sebagai asset, potensi, dan investasi yang memiliki nilai ekonomi, ekologis, edukatif, dan estetis sebagai nilai penting bagi pribadi perkotaan. Makassar akan memiliki aura yang indah dan menempatkan posisisnya sebagai wilayah yang berwibawa dan terjaga keseimbangan lingkugannya. Analoginya, Makassar ibarat perawan cantik nan alami berhias permata yang memiliki daya tarik, daya saing dan daya jual tinggi bagi para investor dan pariwisata lokal maupun asing.          

Membangun Gerakan Hijau

Penghijauan kota harus dimulai dari taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman rekreasi (danau, waduk, dan sungai kota), taman makam, lapangan olah raga, hutan kota, dan hutan mangrove, dibangun diwilayah perkotaan. Penghijauan di samping ruas jalan, sungai kali, kolom jembatan, perlu disegerakan. bayangkan jika seluruh bantaran sungai, pinggiran jalan dan ruang-ruang publik dihijaukan dengan pohon mangga, Nangka, Sukun, dan aneka buah lainnya, bisajadi dimusim-musim buah tertentu kota akan mengalami surplus buah dan jika manajemen pengelolaan taman baik, kebutuhan akan buah bisa terpenuhi. Saya ambil contoh sungai dalam kota yang panjangnya 7 km, apabila dalam 7 km ditanami pohon manga dengan jarak masing-masing 5 m, berarti ada sekitar 1400 pohon, jika 1 pohon manga berbuah sekitar 100 biji maka mengahsilkan 1.400.000 buah mangga per musim, itu baru satu pinggiran sungai. Apabila sungainya banyak? tidak perlu lagi impor buah manga. Belum lagi ruas jalan, lapangan, halaman kantor, dan ruang publik.

Membumikan ruang hijau disetiap bangunan sangat diharapkan melaui gerakan-gerakan peduli habitat, jika seluruh gedung pemerintah, kantor, hotel, dan rumah penduduk besepekat membuat pagar hijau dengan menanami bunga-bunga yang merambat, praktis menghasilkan oksigen tercukupi. Olehnya itu, Untuk memulai kesadaran lingkungan, Pemerintah harus hadir beserta aparatnya menjadi penggerak penghijauan taman kota, bukan hanya menyerukan, tapi turun tangan memberi contoh gerakan hijau yang dimulai dari kantor-kantor dinas, rumah-rumah dinas, sekolah, rumah para Pegawai Negeri sebagai upaya memberi teladan kepada masyarakat akan pentinnya ruang hijau baik berupa taman, pohon rindang atau sejenisnya. Gerakan sejuta biopori disetiap ruang terbuka menunjang kota terbebas dari banjir, pembuatan taman refleksi akan menambah persahabatan ruang terbuka untuk masyarakat kota bukan semata menikmati lingkungan tetapi kesehatan pun terpenuhi.

Penerapan regulasi yang bersifat mengikat untuk menanam pohon disetiap instansi, lubang biopori, taman refleksi dan edukasi nampaknya lebih mumpuni. Salah satu contoh penilaian kinerja Pimpinan Kantor diukur dengan seberapa peduli terhadap ruang terbuka hijau dan pemanfataanya yang dapat bersahabat dengan masyarakat kota. Begitupula dengan para pegawai, reward dan promosi untuk mereka yang peduli terhadap habitat perlu menjadi pertimbangan khusus. Pemerintah dan instansi-instansi terkait perlu lebih koperatif dan tegas menyerukan kepada warga melakukan penghijauan, membangun kesadaran akan arti penting lingkungan, keterbatasan tanah, keseimbangan lingkungan, dan juga vegetasi-vegetasi sebagai daya dukung lingkungan. gerakan ayo menanam dan Makassar hijau perlu kita apresiasi dengan keterlibatan kita bukan hanya pananaman, tetapi juga pemeliharaan, Karena hanya dengan cara inilah, minimalisasi efek pencemar akan terjaga sehingga ancaman bahaya banjir dan longsor kecil kemungkinan terjadi. Dan harapan kita tentang kota sehat, kota hijau mampu menjadikannya sebagai perkotaan yang nyaman, teduh bersinar, asri dan ramah lingkungan. Semoga!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun