Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Si Mulut Harimau dan Isyarat dari Masalembu

30 Juli 2017   15:53 Diperbarui: 31 Juli 2017   06:24 2049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Darul Hasyim di acara doa bersama (foto: istimewa/DH)

"Kalau mau membahas atau mendiskusikan dampak cantrang, siapa yang diuntungkan, dari sisi ilmiah dan perlu diuji, kami ikut," katanya mantap. Darul mengatakan bahwa sejauh ini apa yang dilakukan oleh nelayan Masalembu masih dalam koridor advokasi yang sehat sejak tahun 2014, sejak ada konflik terbuka di lautan terkait cantrang itu.

"Saya sampaikan ke nelayan, tidak ada ruang untuk anarkisme, kalau mau anarki tangkap sendiri, kita ndak ikut," ucapnya. Dengan upaya itu, setelah peristiwa tahun 2014 itu nelayan mulai pelan-pelan menata dirinya.

Di ujung obrolan, Darul menjelaskan relasi antara memilih menjadi 'nelayan tadisional', modernisasi perikanan hingga posmodernisme sempat menjadi obrolannya dengan beberapa teman yang menyebutnya sebagai 'tidak mau berpindah dari tradisional ke perikanan modern'.

"Apakah memilih tradisionalisme,menjadi haram? Apakah dengan memodernisasi alat tangkap maka tradisionalisme akan hilang? Modernisme kan sudah ditinggalkan? Kaidah post-modernisme malah lebih arif, lebih menekankan pada keseimbangan lingkungan. Kalau teknologi dikembangkan untuk pengetahuan itu sendiri bukankah itu sangat positivistik? Kalau teknologi untuk ilmu pengetahuan saja bukankah itu dehumansasi?" katanya berfilsafat, seperti hendak mengirim pesan ke pihak-pihak yang menganggap bahwa cantrang adalah solusi ekonomi yang pas.

"Bukan tidak setuju, nelayan harus ditingkatkan menjadi modern memang suatu keniscayaan. Tapi di nenek moyang kami, sejak tahun 60an, 70an, dari pakai layar dan dayung besar kemudian berpindah ke ketinting, kapal kayu, sebagai proses alami. Kalau dipaksa saat ilmu pengetahuan belum sempurna tentu akan beda. Sama saja ketika Inggris memaksa Mahatma Gandhi menggunakan celana Levi's," tambahnya.

"Atas nama peradaban maka kolonialisme (melalui pemaksaan cantrang) itu dibenarkan? Lalu keabsahan bernegara ini ke mana? Isu laut ini berlapis-lapis dan perlu solusi bersama. Teman-teman NGO, atau aktivis lingkungan harusnya ada di situ juga." pungkasya.

Tebet, 30 Juli 2017

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun