Menurut Alwy, selain contoh dari Sulsel, banyak TKI, dari timur, mereka displaced persons, orang berlarian dari kebudayaan, akibat konflik, Pilkada, macam-macam. “Nah jadi menurut saya, tidak apa-apa feminisme dalam pengertian banyak, ada Marxis, radikal, bahkan yang ringan struktural, tapi yang paling penting diketahui bahwa banyak ilmuwan yang mendorng bahwa bahwa feminisme tidak lagi sebagai ideologi tetapi sebagai sains. Jika dia sains, ada beberapa ciri yang terkait di dalamnya seperti obyektif, bisa diuji, netral, eksplorasi sistematis, presisi, dan lain-lain,” paparnya.
“Ingat bahwa kesadaran sosial kita dibentuk oleh peristiwa, Barat juga ada ceritanya. Ada keperluan untuk mencari story perempuan dalam pemaknaan luas. Simpul-simpul kebudayaan, dan kampus-kampus kita tidak mengumpulkan story,” sebut Alwy.
Muara bincang
Kian rawannya muara kehidupan kontemporer seperti kapasitas sosial (di Timur) yang rentan, hutan, pesisir, laut yang kian rusak, chaos sosial desa-kota, konflik dan relasi agama-agama, politik Pilkada yang banal, praktik mereproduksi demokrasi yang culas dan seakan dibiarkan merupakan akumulasi persoalan yang tak bisa dipisahkan dari perubahan-perubahan yang dipaksakan, sejak zaman penjajahan, penataan birokrasi dan akumulasi khazanah Nusantara oleh rezim sejak 70 tahun terakhir. Narasi ini berdampak pada penerimaan, pandangan, perlakuan, stereotype, pola gerakan ‘to lift’ gap antar gender, termasuk konsep dan gerakan Ornop terkait Feminisme.
Mereka yang lari, mereka yang hijrah, sejak lampau hingga kini, itulah yang disebut oleh Alwy sebagai ‘The Displaced Persons’. Ranahnya luas dan kalau tak segera dibereskan akan menjadi bom waktu di masa depan. Dimensinya luas karena berkaitan dan berkelindan antara masa lalu (past), sosial ekonomi, politik hingga gesekan kebudayaan, Timur Barat dalam pemaknaan universal dan Barat-Timur dalam konteks Nusantara. Akar-akarnya pada empat penyebab tadi, sejarah perlawanan etnik, dominasi Orde Baru, konflik sosial hingga praktik culas politik Pilkada.
“The Great Man, raja-raja itu harus diubah menjadi institusi, legislatif. Jadi ada transformasi kapasitas, dari the Great Man menjadi institutionalized. Ada juga yang merasa terganggu dengan the Great Man itu, begitupun sebaliknya,” sebut Alwy. Hal ini diperkuat Asmin bahwa sesungguhnya pada ‘Kosmologi Kebudayaan’ kita, ada banyak fakta tentang keberadaan Batesalapanga di Gowa, Tellu Pitue di Wajo, Patappulo di Wajo, Tomakaka di Luwu, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, ditambahkan Abdul Rasyid Idris, bahwa kita penting melihat sejarah dan melihat masa depan, kita perlu riset, meriset idola, dan apa peran kita untuk itu.
“Saya takutnya memang ada gerakan yang ingin menghilangkan story-story lokal ini,” kata penulis buku teranyar, ‘Anging Mammiri (2017)’ ini sembari berdiri.
Bincang ala FIK Ornop ini menjadi menarik sebab muaranya mengingatkan para peserta tentang potensi batu sandungan gerakan perempuan atau konsep Feminisme, berkaitan aspek etik, agama, Pilkada, benturan pemikiran, hingga lahirnya gagasan transformasi multikultural ke transkultural, dari ide-ide dunia yang selama ini menjadi rujukan massif dan ‘one single eye’ menjadi lebih ‘local brands’.
Tak terasa, adzan berkumandang, obrolan menembus waktu Magrib. Lelampu Kota mulai menyala. Di muara bincang, Asram Jaya, menyebut tiga pernyataan simpulan reflektif.
Pertama, betapa pentingnya menjadikan story terkait perempuan sebagai simpul kebudayaan. Kedua, pentingnya memperkuat kecerdasaan kolektif sebagai manifestasi demokrasi kita. Ketiga, menerima anggapan bahwa Feminisme sebagai Sains oleh karena itu kita butuh teks, fakta-fakta, narasi untuk ber-story. Ada catatan tambahan dari Lusi bahwa sekalitan gagasan alternatif tersebut, tidak bisa diabaikan juga bahwa gender telah lama menjadi studi.
“Sudah menjadi sains sesungguhnya. Tapi ini juga problem kita yaitu ketika (nilai-nilai) tidak terinternalisasi. Perlu juga ada strategi mencari tahu mengapa itu terjadi.” serunya.