Lusi Palulungan, penggiat advokasi perempuan yang saat ini bekerja untuk Program MAMPU menanggapi bahwa kalau dilihat dari pengalaman, dari sisi kebudayaan, sesungguhnya bukan patriariki tetapi patrineal. Pada budaya-budaya praktik, ada istilah pampidokang, uang panaik (mahar perkawinan), yang meneguhkan laki-laki untuk tidak masuk ke area domestik.
“Itu ada di nasehat orang tua ke anak-anak yang dilegitimasi oleh agama. Ini yang dipahami turun temurun. Yang kedua adalah gerakan perempuan sebagai ideologi, sebab pemahaman budidaya patriarki sudah menjadi idoelogi dan mengakar dalam pikiran orang,” katanya.
“Kenapa ini menjadi gerakan untuk mengubah ideologi orang karena itu dasarnya, kalau sains mungkin tidak makin cepat perubahannya. Artinya kesadaran orang dan kemudian ideologi itu terinternalisasi namun kenyataan kan tidak terinternalisasi dalam perilaku,” tambah Lusi. Di sini, dia ingin menunjukkan bahwa praktik gerakan dan upaya transformasinya memilih menyasar ideologi yang dianggap lebih cepat spektrum perubahannya ketimbang sains.
Berpakaian khas hitam-hitamnya seperti biasa, Asmin Amin ikut menggetarkan ruang diskusi. Menurutnya, Feminisme a la Fatimiyah, merujuk pada sosok Fatimah Azzahrah yang disebut sebagai cahaya bagi seluruh perempuan, sebagai Putri Sidratul Muntaha, perempuan yang paling suci dan dilahirkan di dunia (karena tidak pernah menstruasi). Di mata Asmin, Fatimah adalah wujud seluruh cinta, roh, darah, daging, dari nafas. Semua tumpah di situ.
“Persoalan kita saat ini karena faham Jahiliyah yang masih ada saat ini bersimbisis dalam bentuk sekarang dan sangat menindas perempuan,” tegas mantan anggota DPR-RI dari PKS ini. Asmin menyinggung praktik tradisi, kebudayaan, seni, Syech Yusuf, Tirtayasa di Jawa hingga letak Songkok Patono’, songkok yang diasosiasikan memutar angin—asosiasinya ke laki-laki. Sementara perempuan sebagai yang menari, menjaga keseimbangan.
“Pada pemaknaan simbolik, bahwasanya memang ini sebuah pasangan yang tidak bisa dipisahkan, selalu menjaga,” kata budayawan Sulsel ini memantik optimisme pada tawaran pentingnya penyigian khazanah kebudayaan lokal seperti kehendak Alwy.
Lebih jauh Alwy memberi tambahan bahwa ada dua hal penting dalam merawat ingatan, ada history dan story(kisah).
“Kebanyakan dari kita hanya mengingat his-tory dan malah belajar dari orang luar, cerita kita (lokal) jarang kita dengar. Alwy lalu menyandingkan sejarah-sejarah yang ditulis atas nama history dan apa yang dilakukan Penulis Pram. Tentang yang lestari karena diindungi oleh kekuasaan dan yang kesulitan padahal berisi keaslian cerita alias story,” tambahnya.
“Hampir, sejarah perempuan kita (di Sulsel) tidak ada, padahal story kita ada 17 perempuan Bugis-Makassar jadi raja, tapi dia tidak disebutkan. Jadi sebenarnya, kita kehilangan story. Jejak mereka hilang, olehnya itu kita perlu mengabadikannya dengan proses yang berbeda, dari luar atau dari dalam,” katanya. Awy menyentil bagaimana cerita Kartini, tentang apa yang ditulisnya sebagai perlawanan pada Ronggo Warsito (laki-laki).
“Banyak orang tidak tahu bahwa Kartini sesungguhnya melawan kebudayaannya,” imbuh Alwy. Menurutnya, pada praktik kontemporer dan umum, terkait posisi perempuan atau kesetaraan gender ini berkaitan dengan, misalnya, apa yang terjadi di Jakarta dan berdampak luas, karena ada political gimmick, tipuan politik.
“Konflik di Jakarta, bisa jadi tipuan politik, nah pelarian-pelarian yang terjadi sekarang masih ada, bahkan ada yang main bom,” katanya. Alwy mengajak peserta untuk ke Timur, terutama di Sulawesi Selatan tempat dimana terjadi banyak juga pelarian-pelarian. “Oleh sebab itu, Sulsel yang banyak budayawannya, akademisi, LSM mari jadikan Sulsel sebagai provinsi teladan, yang menggerakkan peradaban,” katanya.