Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gerakan Feminisme dan Akar 'Displaced Persons'

13 April 2017   08:48 Diperbarui: 13 April 2017   16:30 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah petikan pernyataan diskusi offline terkait gerakan Feminisme grup ‘Whatsapp FIK-Ornop SS’ di Makassar, (11/04). Adalah Alwy Rahman, akademisi Unhas dan berpengalaman di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang didapuk sebagai pemantik sumbu. Bersama Alwy, hadir Mappinawang Yusuf, mantan Direktur LBH Makassar, Asmin Amin, Khudri Arsyad, keduanya mantan Koordinator Forum Informasi Komunikasi Organisasi Nonpemerintah Sulsel (FIK-ORNOP), A. Yudha Yunus, Rasyid Idris, Jumardi Lanta, Andi Iwan, Lusia Palulungan, Rusman Mejang hingga A. Rusnati Tahir.

Koordinator FIK-ORNOP Sulsel saat ini, Asram Jaya bertindak bak lighthouse pertukaran informasi. Berikut alur-alunnya.

Alas bincang

“Persolan perempuan di Indonesia, bukan persoalan patriarki tapi pelarian,” sentil Alwy. Bagi Alwy, ada beberapa penyebab, pertama, adanya alas sejarah etnik melawan negara atas nama agama, ada juga perlawanan seperti RMS (di Maluku), pemberontakan Sumatera. Penyebab kedua, politik Orde Baru. Ketiga, adanya konflik sosial, keempat adalah praktik politik Pilkada.

“Otonomi juga menciptakan pelarian oleh karena itu, saya melihat persoalan gender, bukan lagi dikotomi seperti selama ini, dimana ada patriarki, bicara publik ternyata tidak pada itu, bukan masalahnya, saya juga perhatikan negara-negara lain tentang gender. Isu perempuan, bisa jadi sebagai pelarian,” katanya.  

Alwy lalu menyebut Covenant Teheran dan Beijing yang menciptakan dua kutub gerakan gender di dunia. Pertama, tetap feminisme, yang kedua pada ideologi pemujaan. Kasus Iran, tidak memakai feminisme, tetapi mengembangkan ideologi sendiri yang mereka sebut Ideologi Fatimiyah yang ternyata sampai hari ini justeru Iran lebih sukses karena perlindungan perempuan masuk konstitusinya. Indonesia, tidak sampai di konstritusi tetapi di UU saja.

“Lalu, setelah baca buku Prof Ilmi Idrus (akademisi Unhas), saya agak ragu, kalau di Bugis Makassar disebut patriarki, hampir seluruh idiom persaudaraan justeru memakai tubuh perempuan, silessureng dari kata lessureng dar pintu rahim ke pintu vagina. Orang Bugis menyebut ‘saya bersaudara dengan kamu, saya silessureng dengan kamu, sesungguhnya dia bilang saya dan kamu lahir dalam satu jalan’. Jadi idiom gender berpusat pada ibu,” papar Alwy.

“Di diskusi kita ini disebut saja sebagai olok-olok Feminisme Nusantara, barangkali perlu dilihat studi gender yang dikonteksan ke bawah, agar kita bisa lihat fakta-fakta itu dengan dalil yang ada pada feminisme. Kan sederhana itu, ada dua yang paling utama, apa yang disebut feminisme Marxis, bahwa tubuh-tubuh perempuan selalu tergadai dalam simbol. Misalnya, saya punya uang 2ribu, di uang ini ada tubuh orang lain. Saya bekerja menjual tenaga saya, saya dapat ini. Ini disebut oleh Marx teori simbolik pertambahan nilai,” urainya.

Alwy menilai hampir semua bagian ‘uang’ peradaban saat ini mempertontonkan penjualan tubuh dengan lembar-lembar uang, PSK menggadaikan kelamin, guru menggadaikan otak. Marxisme seperti itu. Kedua, feminisme struktural, tetap melihat tubuh, tetapi dikaitkan dengan struktur sosial yang ada.

“Saya setuju bahwa lebih baik kita menggiring studi gender itu menjadi sains, bukan lagi ideologi sebab akan menemui banyak masalah. Ideologi barat yang dimaksud feminisme ternyata tiba di Iran menjadi feminisme Fatimiyah, kenapa tidak kita bicara feminisme Nusantara. Banyak saran dari ahli, jadikan dia sains. Bukan lagi ideologi,” sebutnya sembari melepas pandangan ke belasan peserta diskusi. Peserta yang terlihat antusias dan di meja berhias kue bolu, rujak dan kopi hitam di pelataran kantor Yayasan Esensi, Makassar, nan teduh.

Para peserta (foto: Kamaruddin Azis)
Para peserta (foto: Kamaruddin Azis)
Pengayaan peserta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun