“A lake carries you into recesses of feeling otherwise impenetrable.” William Wordsworth. Penyair Inggris abad ke-19 William Wordsworth menempatkan kata danau dalam puisinya. Sedanau dapat membawamu ke relung rasa walau sulit dijelajah. Kurang lebih begitu arti bebasnya.
Ketiga nama di judul tulisan di atas adalah nama danau. Mawang mungkin tak setenar Toba atau Matano tetapi aku memulai tulisan ini karena kesan pertama dari Mawang. Aku menuliskan ini ketika mulai percaya bahwa ketiga danau ini bisa merefleksikan kondisi, tabiat dan cara kita mengelola harapan. Kalimat yang melankoli, tetapi rasanya memang, danau adalah misteri, adalah pusaran tanpa arah meski di permukaan terlihat rona rata.
Pagi tanggal 3 Maret itu, seorang menggiring sapi,yang lain memberi pakan bebek dan ayam, sebagian lainnya bercengkerama di bale-bale. Teronggok beberapa rakit bambu,rakit yang digunakan menjaga dan merawat keramba-keramba ikan. Rakit yang juga acap digunakan oleh warga pengikut An-Nadzir yang terkenal dengan tradisinya yang unik. Pagi yang hidup di tepian danau di Gowa iniseperti tertahan ketika aku berbelok ke kanan, ke selatan, rumah-rumah batu,jalan menanjak, air buangan dari selokan tertarik ke rongga danau yang membentangsekira 1,5 kilometer. Terkira lingkar tengah antara 200 meter hingga 500meter.
Oh iya, aku ingin mengabarkan danau yang lain. Kumulai dari Toba di Sumatera Utara.
Pesona Toba
Kunjungan ke Danau Toba terjadi di dalam bulan Agustus 2016 dan Maret 2017. Pada kunjungan pertama aku menginap di salah satu hotel di Laguboti, Balige. Kala itu sempat menjajal perahu yang mengantar ke Pelabuhan Tomok, Pulau Samosir. Di atas perahu aku bercengkerama dengan anak-anak kecil nan manja. Anak-anak Panjaitan salahsatunya. Di perahu itu, aku menikmati suasana khas Danau Toba, kaki gunung,di sekitarnya, riak-riak air di sekitar keramba ikan, hingga perahu-perahu dari Balige, Parapat hingga Tapanuli yang lalu lalang. Beberapa kawan bersandar di tepian perahu dan mengunyah durian Medan dan membuang bijinya.
Kunjungan kedua pada tanggal tanggal 7 Maret 2017. Kali ini ke Toba dengan mengambil tempat di Kota Parapat. Hotel Inna Parapat menjadi destinasi keduaku. Di hotel ini, aku merasakan nuansa kehadiran Presiden Jokowi yang pernah menginap di hotel ini tahun lalu. Model bangunan hotel yang unik,indah dan berarsitektur Barat merupakan daya pikat tersendiri. Hotel ini terlalu indah untuk aku yang terbiasa hidup di rumah kosan, tetapi sesekali memang kita harus mencecap nikmat Tuhan sebagai ‘kelas atas’.
Aku beruntung mengamati dari dekat bangunan bergaya Mediterania yang menghadap ke keluasan danau. Suasana berbeda dan menyenangkan juga terasa saat malam hari. Lampu-lampu rumah, bangunan hotel dan kendaraan yang melintas di bahu gunung, di tepian danau seperti lampu-lampu jalan yang menari. Di danau seluas tidak kurang seribu kilometer persegi dan sedalam hingga 529 meter ini aku membayangkan prospek luar biasa jika bisa dikelola dengan baik. jika bisa menggugah para pihak untuk komit dalam menjaga kelestarian danau, tak membuang sampah dan limbah rumah tangga ke danau, serta mengindahkan saran Pemerintah untuk tak serampangan mengeksploitasi danau Toba.
Oh sebentar, ada yang mengesankan setelah dua kali ke Danau Toba,orang-orang Batak yang berdiam di sekitar Toba menyadari bahwa aksen atau intonasi mereka memang tak sehalus yang lain tetapi mereka tetap semangat untuk menjadi sahabat bagi sesiapapun yang datang, sesiapa yang ingin benam dalam nikmat keindahan pesona danau yang sejatinya paling keren di Indonesia ini.
Tanggal 6 Maret 2017, aku berjanji dengan seorang kawan untuk bersama dengannya ke Kabupaten Luwu Timur tepatnya Kota Sorowako. Pesawat Garuda yang kutumpangi delay 30 menit dari rencana berangkat pukul 15.00 Wib.Ini berarti akuakan tiba di Makassar pukul 18.30 Wita padahal bus yang Bintang Timur yang akan membawa kami berangkat pukul 19.00 Wita. Seperti kuduga, aku tiba pukul 18.30 dan bergegas mencari ojek, butuh waktu 10 menit untuk sampai di tempat yang kusepakati. Dan, you know what? Aku hanya butuh waktu 3menit menunggu sebelum bus tujuan Sorowako datang. Jadilah kami ke Sorowako malam itu. Undangan ke Sorowako itu seakan menjadi pelengkap petualangan aku ke danau-danau, hingga kini aku telah berkunjung ke Mawang, Toba dan Matano (Danau buatan di kampusku tak perlu dihitung).
Ohya, di Sorowako jualah aku kembali menyadari bahwa tertibberkendara itu masih bisa diupayakan. “Kenapa pula Iskandar tak segera berbelok meski pengendara lainnya masih jauh dari jarak mobil kami?” batinku ke Iskandar Daeng Parani yang memandu jalan-jalan di kota.Rupanya, dia tidak akan belok jika ada kendaraan dalam radius gerak sekitar 50meter dari kendaraannya.
Yang aku ingin bilang, di Sorowako, kau tidak bisa berbelok serampangan. Jangan lupa pasang seatbelt, itu pesan keduanya.
Kali ini agak berbeda dengan William, aku larut dalam prosesi standar, memotret, duduk bergaya dan memasang ‘self timer’. Inilah kesempatan terbaik mengabadikan Matano tanpa kasak-kusuk meminta difoto orang lain. Aku tak merenung atau mencari di mana gerangan batas kenyamanan di Matano. Yang aku tahu, banyak hal yang mengesankan dari tempat ini, air danau yang jernih, orang-orang yang bebas berenang tanpa takut limbah cemar, tanpa takut pakan ikan dari keramba sebab tak satupun keramba ikan yang aku lihat. DiMatano, yang terasa adalah keluasan pandangan dan suasana sendu dan menggairahkan saat berlama-lama di sana. Entah jika William Wordsworth jadi datang ke sana dan merasakan sensasi tak biasa.
Batua, 21/03/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H