Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Malam Mencekam di SLB-C YKB saat Banjir Garut

4 Oktober 2016   12:59 Diperbarui: 4 Oktober 2016   19:15 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Pasca Bencana
Saat ditemui oleh Tim Perkasa 89, Inten yang merasakan betapa beratnya medan saat kejadian bencana itu mengaku mulai gelisah. Juga geram sebab saat ini orang-orang seperti tak peduli pada penderitaan warga. Mereka yang datang belakangan berlagak tidak berempati lagi.

“Mereka seperti wistawan bencana, wisatawan berbulu mata palsu,” sungut Pipin dari Yayasan Thalassemia Garut yang mendampingi Inten.

Suasana SLB pasca bencana (foto: Kamaruddin Azis)
Suasana SLB pasca bencana (foto: Kamaruddin Azis)
Inten melanjutkan. “Garut ini ibarat kata, daerah tersempurna terhadap bencana, ada tsunami, gunung meletus, banjir, lengkap. Jadinya kita perlu mitigasi dan perlu kesiapsiagaan. Jangan kayak sekarang, saat bencana kita susah, pasca bencana juga penuh persoalan,” katanya

“Sangat menghambat proses jika masyarakat hanya jadi penonton, terlambat evakuasi dan lebih memiih selfie-selfie di lokasi bencana. Ada yang lihat saya guling-guling di lumpur, eh difoto kaki saya, bukannya nolongin,” sungut Inten.

Menurut Inten, pihak seperti MUI, atau kelompok-kelompok penganjur keagamaan segeralah turun ke lapangan dan mengingatkan semuanya tentang bagaimana keluar dari situasi gagap dan gugup bencana.

“Setiap ada bencana panik kita, gugup dan gagap,” katanya bersemangat.

Menurutnya, dari 6 kecamatan dan 17 desa yang kena bencana cenderung dilebih-lebihkan. Ini karena media sosial juga. Jadinya korban jadi berubah juga sikapnya. “Mereka meminta dengan nggak malu-malu. Tapi ada juga yang berani menginjak dan membakar bantuan seperti baju yang dibakar karena tak layak,” katanya.

“Mereka seperti wisatawan bencana, kita difoto-foto yang sedang bekerja, sampai ada kabar kalau beberapa yang memberi bantuan sengaja memberi bantuan dan difoto, setelah itu bantuan diambil untuk kemudian difoto di tempat lain,” katanya terlihat geram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun