Cerita Pasca Bencana
Saat ditemui oleh Tim Perkasa 89, Inten yang merasakan betapa beratnya medan saat kejadian bencana itu mengaku mulai gelisah. Juga geram sebab saat ini orang-orang seperti tak peduli pada penderitaan warga. Mereka yang datang belakangan berlagak tidak berempati lagi.
“Mereka seperti wistawan bencana, wisatawan berbulu mata palsu,” sungut Pipin dari Yayasan Thalassemia Garut yang mendampingi Inten.
“Sangat menghambat proses jika masyarakat hanya jadi penonton, terlambat evakuasi dan lebih memiih selfie-selfie di lokasi bencana. Ada yang lihat saya guling-guling di lumpur, eh difoto kaki saya, bukannya nolongin,” sungut Inten.
Menurut Inten, pihak seperti MUI, atau kelompok-kelompok penganjur keagamaan segeralah turun ke lapangan dan mengingatkan semuanya tentang bagaimana keluar dari situasi gagap dan gugup bencana.
“Setiap ada bencana panik kita, gugup dan gagap,” katanya bersemangat.
Menurutnya, dari 6 kecamatan dan 17 desa yang kena bencana cenderung dilebih-lebihkan. Ini karena media sosial juga. Jadinya korban jadi berubah juga sikapnya. “Mereka meminta dengan nggak malu-malu. Tapi ada juga yang berani menginjak dan membakar bantuan seperti baju yang dibakar karena tak layak,” katanya.
“Mereka seperti wisatawan bencana, kita difoto-foto yang sedang bekerja, sampai ada kabar kalau beberapa yang memberi bantuan sengaja memberi bantuan dan difoto, setelah itu bantuan diambil untuk kemudian difoto di tempat lain,” katanya terlihat geram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H