Menurut Inten, suasana saat dini hari itu sangat mencekam, selain air yang sudah membubung di atas asrama dan sekolah, rembesan arus listrik menjadi kendala untuk mengambil inisiatif.
“Malam itu bersama Pak Depi kami ke lokasi tunagrahita. Tahu kan ya, mereka ini senang melihat air dan tidak tahu kalau malam itu adalah malam bencana. Mereka tak sadar tentang bahaya, untuk menyelamatkan mereka, ditempuh dengan mengikat mereka pakai kerudung, dipindahkan estafet gitu,” ungkap Inten.
Di malam yang sangat mencekam itu, Inten, Dodik dan Depi lega sebab di bawah sana ada Roy yang juga tuna netra yang menyelamatkan anak-anak yang tertahan di asrama. Roylah yang sibuk meski serba terbatas. Anak-anak tersebut kemudian dievakuasi ke Rumah Sakit TNI Guntur.
***
Di ingatan Inten, di asrama kelas A ada 8 penghuni, di kelas C ada 15. Yang ke Bandung hampir semuanya kecuali Pak Roy yang tunanetra dan anak-anak tunagrahita dan tunanetra. Ada delapan orang malam itu yang berhasil diselamatkan.
“Mereka satu persatu naik ke atas, diselamatkan oleh Roy dan Ibu Yani, saya ingin ke bawah menjemput tetapi diingatkan adanya arus listrik, kaca-kaca jendela yang pecah, paku-paku, kepikiran kalau mereka telah meninggal,” Inten Iswara, anggota ikatan istri Dokter Garut. Perasaannya menjadi lega ketika tahu ada Ibu Yani dan Pak Roy di kelas C yang bahu membahu menyelamatkan mereka.
“Saat itu saya nangis, saya duga Pak Roy itu meninggal, makanya saat dengar dia selamat saya kembali tenang dan bahkan Roy ikut membantu yang lain,” sebut Inten yang mengaku malam itu sangat ingin loncat ke dalam pusaran air tapi ditahan oleh Roy.
Ada cerita yang membuat Inten dan Dodik terpukau. Menurutnya mereka, saat banjir bandang itu, beberapa Alquran Braille rusak namun yang tersisa beras yang tidak basah, juga tisu serta benda-benda kerajinan tangan siswa SLB.
“Tercatat ada 65 luka berat, ada 54 dewasa dan 1 bayi terselamatkan. Subuh itu saya lihat ada 4 jenazah dan 1 bayi. Yang meninggal ini orang sekitar SLB dan tampaknya tidak bisa berenang. Yang satunya masih mengenakan mukena, kayak baru selesai shalat malam,” ungkap Inten.
“Sebetulanya, bantaran sungai yang djadikan tempat tinggal itu sudah diminta oleh pemerintah untuk tidak dijadikan tempat tinggal. Sekarang akan jadikan taman. Di sana sudah ada buldozer, sekarang mau direlokasi dan akan jadi taman,” imbuh Inten.