-Ratusan ribu telah kami tanam mungkin jutaan, tapi abrasi pantai terus saja jadi ancaman.-
Tasmani, Kelompok Bakau Lestari, Desa Mojo, Pemalang.
***
Kota Gombyang Pemalang adalah salah satu kabupaten penting di di bentang Pantai Utara Jawa. Kabupaten yang kini dipimpin Haji Junaedi ini memiliki panjang pantai tak kurang 35 Km. Luas wilayahnya 111.530,5 ha. Terdapat 14 desa pesisir. Terdapat 1.738,42 hektar tambak yang tersebar di empat kecamatan pesisir seperti Pemalang, Petarukan, Taman dan Ulujami. Tambak terluas ada di Ulujami, di mana ada 1,492, 52 hektar. Luas mangrove tidak kurang dari 130 hektar, (DKP Pemalang, 2015).
Kebijakan pemerintah kabupaten dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan pesisir tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2011 tentang Rancangan Tata Ruang wilayah Pemalang antara lain untuk bidang kelautan dan perikanan. Perda ini mengatur proteksi lingkungan pantai dan ekosistem lainnya. Meski demikian, cerita pemanfaatan sumber daya pesisir setempat acap berujung nestapa bagi masyarakat yang berdiam di sekitarnya. Mangrove kian menipis, degradasi lingkungan semakin hebat. Karena ulah manusia, abrasi pantai dan tambak merebak, sedimentasi dan degradasi ekosistem mengancam kehidupan warga.
Ancaman di pesisir ini mendapat perhatian dari warga di Desa Mojo. Mereka sadar dan berinisiatif mengulurkan tangan pada dahan batang magrove. Tak hanya mengeksploitasi pesisir untuk pertambakan, tetapi juga tetap menaruh perhatian pada daya dukung kawasan setempat seperti menjaga sabuk hijau mangrove di sepanjang pesisir pantai.
Wahana trekking mangrove yang dijaga oleh warga atas sokongan pihak luar seperti OISCA Jepang dan Pemda Pemalang menjadi saksi langgengnya pengelolaan mangrove. Aktivis dan kelompok-kelompok pelestari pun bermunculan mengambil peran.
Pengalamanlah yang membuat Tasmani menyadari betapa pentingnya meneruskan upaya menjaga hutan mangrove, menanam dan menjaganya. Penebangan mangrove yang tak terkontrol, pembukaan lahan tambak, kebutuhan kayu bakar yang semakin tinggi dianggapnya sebagai tantangan sekaligus ancaman.
Tasmani masih mengingat jumlah batang bibit mangrove yang telah ditanam untuk melindungi pesisir pantainya. Baik inisiatif kelompoknya maupun yang dikerjasamakan dengan mitra dari luar. Terutama sejak adanya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Lindung atau GNRHL tahun 2007.
“Seingat saya saat itu ada 27 ribu batang yang disiapkan. Di program KBR ada 50ribu dan dari Dinas Kehutanan ada 33 ribu, seingatku pada 2011. Sementara dari KLH dalam tahun 2014 ada 48 ribu batang. Dari BLH dalam tahun 2015 ada 40 ribu batang. Dari DKP Kabupaten Pemalang disiapkan 30 ribu dalam tahun ini. Dari BP DAS ada juga sebanyak 33 ribu. Jenis yang ditanam umumnya Rhizophora spp,” terang Tasmani lancar saat ditemui pada diskusi dan sosialisasi program restorasi pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan yang bekerjama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) di kantor Desa Mojo, 10/09/2016.
“Yang menanam anggota kelompok kami, kelompok Bakau Lestari. Kami ada lokasi pembibitan. Kelompok juga mempunyai alat-alat pengolahan mangrove menjadi sirup, permen, dodol. Bantuannya dari DKP Pemalang. Pokoknya kami telah menanam ratusan ribu mangrove sejak 10 tahun terakhir,” terang pria beranak dua ini sembari melepas senyum.
“Yang tidak menyenangkan kalau lokasi hamparan, lumpur, sangat dalam, ularnya pun banyak. Makanya selalu ada selamatan untuk meghindari bahaya,” katanya. “Yang tidak menyenangkan juga sebab pernah ada anggota kelompok ‘dijumpai’ oleh penjaga hamparan. Mundur dan tak mau lagi, takut,” ujar pria yang baru saja panen bandeng ini. Dijumpai maksudnya disapa oleh mahluk halus.
Hamparan yang dimaksudkan oleh Tasmani adalah sempa dan dan sekitar muara Sungai Comal, sungai yang hulunya dari Kecamatan Moga, Gunung Slamet, Kabupaten Pemalang dan Tegal. Menurut Tasmani, selain desanya, di Desa Blendung ada pula aktivitas konservasi Rhizophora dan cemara.
Apa yang disampaikan oleh Tasmani di atas, dibenarkan oleh warga bernama Dayono. Pria bersaudara 9 orang ini mengaku bahwa sejak beberapa tahun terakhir ini penanaman bakau jamak dilakukan. Banyak sekali kegiatan program konservasi namun dari sisi dampak belum memberikan dampaknya maksimal sementara tantangannya semakin berat dari tahun ke tahun.
Dayono mengaku saat dia masih belia kerap mengambil batang dan pohon mangrove untuk kayu bakar. “Saya mengambil kayu bakar lalu dijual ke warung-warung, untuk rumah-rumah warga juga,” ungkap pria kelahiran Kampung Ketapang yang pindah ke Mojo pada tahun 60-an. Menurut Dayono, selain diambil kayunya, pembabatan mangrove juga terjadi karena lahannya dibuat areal pertambakan terutama sejak masuknya udang windu pada tahun 80-an.
“Dulunya mangrove kami luas sekali, sekarang yang tambah luas justru tambak, saat ini ada 350 hektar tambak yang ada di Desa Mojo. Karena tambak itu pula saya kira abrasi datang dengan cepat pula,” kata Tasmani alumni SMK Tunas Karya, Comal.
Dia menyebut bahwa abrasi hebat terjadi sejak tahun 2000-an. Oleh sebab itu, bagi Tasmani dan kelompoknya, masa depan mangrove di Mojo atau di Pemalang secara umum, upaya mengatasi abrasi dan degradasi mangrove ini menjadi pilihan sekaligus kegiatan kelompok Bakau Lestari yang dipimpinnya.
“Kalau kami tak menanami mangrove segera, pematang tambak pasti akan ambruk. Kami tak bisa tebar bandeng atau udang lagi,” katanya.
Tasmani dengan fasih menyebut mitra-mitra program seperti program Rehab dari OISCA jepang sejak tahun 1999 hingga 2004, GNRHL 2003-2007, Kemenhut , KBR Kebun Bibit Rakyat, Dinhut Kabupaten dan DKP provinsi dan kabupaten, BLH Provinsi, BP Das Pemali Jeratun Semarang, KLH Kabupaten. Tasmani juga ingat lembaga non Pemerintah seperti LSM Sahabat Alam, komunitas mahasiswa dari Undip.
Menurut Tasmani, banyak hal yang bisa dilakukan jika mangrove bisa dilestarikan seperti pelindung dari ombak, lokasi wisata mangrove, sebagai kebun bibit rakyat (pembibitan bakau dan cemara laut), sebagai habitat kepiting bakau, untuk lokasi budidaya kepiting soka dan ruang edukasi bagi murid-murid sekolah tentang pentingnya pelestarian kawasan mangrove.
“Makanya ke depan ini, kita berharap semakin membaik pula kegiatan konservasi ini. Tidak asal tanam dan jumlah yang ditanam lebih banyak,” pungkas pria yang lahir di Desa Mojo pada 23 April 1980. Suami dari Annisa serta anak dari Septiani Avi Amika, 15 tahun dan Obby Firdy Ordan, 8 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H