Liukan deras angin timur di atas Kota Kupang menyambut pesawat Batik Air yang membawa saya dan ratusan penumpang dari Jakarta. Burung besi itu terseok di kolom udara sebelum mencium lembut landasan Bandara El Tari Kota Kasih Kupang, Sabtu 11/06/2016. Angin cukup kencang di ibu Kota Nusatenggara Timur kali ini. Kunjungan ini berkaitan hembusan kabar pengelolaan kawasan mangrove di pantai Oesapa, Kelurahan Oesepa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang yang disebut telah menjadi oase baru berwisata di Kota Kupang.
Siang itu, di Pantai Oesapa telah berdiri warga menyambut saya dan rekan perjalanan Untung PL dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mereka Kris Long, Dance Foe alias Deris serta Dr. James Adam, konsultan untuk pogram pemberdayaan masyarakat pesisir atau Coastal Community Development Program (CCDP) di bawah naungan Direktorat Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang disokong oleh International Fund for Agricultural Development (IFAD) di Kota Kupang.
Tidak jauh dari tempat duduk kami terlihat jembatan kayu kokoh dengan batas pegangan kayu bercat biru muda. Kayu titian dibiarkan sesuai warna aslinya. Ada sambutan selamat datang di gerbang track. Desir angin menari di telinga kala saya memandangi pohon-pohon mangrove melambai dari tepi pantai siang itu. Inilah jembatan sekaligus lintasan trek kayu bagi pengunjung yang ingin membaurkan pandangan dan perhatiannya pada keindahan bahari pantai Oesapa yang dibanggakan itu. Dibanggakan sebab ini menjadi salah satu tempat rekreasi di Kota Kupang yang disiapkan Kelompok Pengelola Sumberdaya Alam (PSDA) pesisir yang diletupkan oleh Dance, kerap disapa Deris, Deris Foe.
Deris, lelaki kelahiran empat puluh tiga tahun silam di Oesapa ini menjadi dirijen sekaligus pemantik ide pembangunan fasilitas rekreasi sekaligus matra pengelolaan lingkungan di Kota Kupang.
“Ya ini, hasil penanaman boak itu. Dulu tahun 70an dong orang-orang tua masih gali dan jual pasir dari sini ,” kata Kris dalam aksen khas Kupang. Kris tahu persis bahwa sejak berkembangnya mangrove ini kepiting mulai banyak, warga tak lagi menebang bakau hingga bisa rindang menghijau seperti sekarang. Boak adalah pohon mangrove yang tumbuh dan kini menjadi benteng pantai Oesapa. Selain karena pengambilan pasir pantai, abrasi diperparah pula oleh pembangunan tanggul tambak.
“Dong beton tambak, jadi airnya lagi ke sini,” sungut Kris.
Melihat boak yang mulai merimbun, Deris diam-diam merawat gagasannya, membayangkan betapa indahnya jika mangrove Oesapa ini menjadi wilayah perlindungan sekaligus tempat rekreasi dan mendatangkan manfaat ekonomi.
“Gagasan membangun sudah lama, kebetulan sebagai ketua RT saya mendengar ada master plan atau perencanaan wilayah Kota Kupang dan Oesapa ini masuk. Itu juga angan-angan sejak tahun 2012,” ungkap Deris. Perencanaan yang dimaksud Deris adalah pengelolaan jangka 20 tahun yang dikaji oleh Bappenas dan Bappeda Kota Kupang. “Nah ternyata konsep tersebut sama dengan konsep 2012 itu. Ada pula rencana dari PU dan Bina Marga provinsi, ada konsultan dari Jawa yang survei tapi kita sudah lama memang,” ujarnya.
“Ide ini kami sampaikan ke CCDP-IFAD, ke Pak Robby (PIU), ibu Welma, bagaimana supaya mangrove ini bisa dikelola. Dari angan-angan kemudian jadi seperti sekarang ini,” terang Deris. Tersungging senyum di bibirnya. Bagi Deris motif pendirian bangunan ini didasari alasan ekonomi masyarakat.
“Sebagai (ketua) RT, pembangunan ini berkaitan dengan kepentingan ekonomi, memanfaatkan hutan mangorve ini. Warga selain bergantung pada tani garam, mereka juga bisa memperoleh pendapatan dari jual-jualan atau ada pemasukan dari sumbangan sukarela warga,” tambahnya.