Saya memulai perbincangan ringan dengannya.
***
“Saya Surya. Ibu?” Surya memulai obrolan. “Mardiana,” perempuan itu membalas. Mardiana adalah perempuan yang duduk di bawah pohon kelapa tersebut. Dia tampak asik membersihkan beberapa ekor teripang yang telah dikumpulkan beberapa hari ini. Mardiana lahir di Marore sekitar 52 tahun yang lalu, tepatnya 06 April 1964. Mardiana punya 5 orang anak.
“Nama lengkapku Mardiana Takarenguang-Mandome,” balasnya saat Surya bertanya nama lengkapnya. Mardiana adalah nama yang diberikan orang tuanya, sedangkan Takarenguang– Mandome merupakan nama keluarga atau marga. Takarenguang adalah nama marga yang diwariskan ayahnya sedang Mandome adalah marga dari ibunya.
Surya terperangah saat mendengar ceritanya. Mardiana ternyata pernah tinggal di Filipina. Sejarahnya bermula ketika tahun 1972, Mardiana bersama keluarga dan 4 orang saudaranya hengkang ke Pulau Balud.
“Saat itu masih usia 8 tahun. Duduk kelas 3 SD,” kata Mardiana yang kini tinggal di Kampung Lindangan 2, Pulau Marore. Di Balud, Mardiana melanjutkan sekolah sampai kelas 5 SD. Karena tak punya dana cukup sekolah Mardiana tak tuntas. Mardiana dan keluarganya tinggal di Balud selama 33 tahun yang merupakan milik Filipina.
Dari cerita Mardiana terungkap pula kalau suaminya adalah warga Filipina. Dari suaminya ini Mardiana memiliki 4 orang anak. Tahun 2003 sang suami meninggal dunia dimakamkan di Balud. Mardiana merasakan beban kehidupan ekonomi pasca ditinggal suami. Anak-anaknya dengan terpaksa putus sekolah dan mulai mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Tahun berganti. Waktu berjalan terus, kehidupan di negeri tetangga kian sulit. Selain susahnya mencari pekerjaan, faktor keamanan juga menjadi suatu hal yang mengakibatkan terhambatnya perekonomian keluarga.
“Banyak premannya,” ungkap Mardiana. Para preman itu kerap meminta uang secara paksa. Kehidupan Ibu Mardiana semakin terjepit di Filipina.
Setelah menimbang, Mardiana memutuskan meninggalkan Pulau Balud dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, kembali ke Marore. Tanpa ekstradisi, tanpa campur tangan Pemerintah. Mardiana kembali ke Marore bersama 2 orang anaknya, Dua orang lainnya memutuskan menetap di Filipina dan berkeluarga di sana. Mardiana diterima tinggal bersama adik laki-lakinya di Marore.
Belum setahun tinggal di Marore, Ibu Mardiana menikah kembali dengan seorang laki-laki Sangihe dan mendapatkan satu orang anak namun kemudian pisah. Dengan kondisi seperti itu, Ibu Mardiana kembali harus berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya.