Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Balik Sidang Reklamasi CPI

25 Mei 2016   12:34 Diperbarui: 25 Mei 2016   12:46 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Irham Rapy (foto: istimewa)

"Kita pertanyakan sertifikasi saksi ahli dari Walhi itu, karena nantinya ada pemaparan dari dia. Jadi kami harus yakin bahwa yang bersangkutan itu benar-benar expert, dan hasil penelitiannya valid atau tidak," kata Lutfi Natsir (Biro Hukum dan HAM Pemprov Sulsel)

***

Pria muda ini memaparkan rekaman citra satelit tahun 2000 hingga 2015. Dia menunjukkan perubahan kondisi pantai di Makassar setelah direklamasi. Menurutnya, pada 2000 lalu masih terdapat hutan mangrove sepanjang 3,5 kilometer di lokasi Tanah Tumbuh, menjadi target reklamasi. Di atas tanah tumbuh itu ada pemukiman masyarakat nelayan, yang menangkap ikan, kepiting, dan udang. Disebut tumbuh sebab merupakan gundukan yang dibentuk oleh sedimentasi Sungai Jeneberang.

"Namun, tahun 2015, ekosistem di tanah tumbuh itu semuanya sudah tidak ada. Warga nelayan bersama rumah-rumahnya juga sudah tidak ada. Jelas terlihat di rekaman citra satelit," sebut Irham, pria tersebut seperti diberitakan media.

Irham adalah alumni Ilmu Kelautan Unhas dan memilih bergabung Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Sulawesi Selatan). Walhi menggugat Pemprov Sulsel terkait reklamasi di sekitar Tanah Tumbuh melalui misi satelit Center Point of Indonesia (CPI). Misi yang mekar saat SBY berkuasa. Di kursi lain, duduk Prof Jamaluddin Jompa dan Dr. Mahatma Lanuru keduanya bersaksi menguatkan gagasan Pemprov Sulsel. Tenaga pendidik dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP-Unhas).  

Di depan hakim ketua Tedi Romyadi, Irham meyakinkan semua pihak bahwa reklamasi telah memberangus ekosistem,  bakau dan vegetasi, demikian pula lahan mata pencaharian nelayan tradisional.  Berikut ini beberapa petikan saksi ahli tentang isu reklamasi dan posisi Walhi (penggugat) seperti dikutip oleh Walhi.

Pertama, meminta Walhi untuk bijak melihat reklamasi sehingga sisi pembangunan tidak berorientasi Ekologis semata tetapi nilai sosial dan ekonomi juga harus dikedepankan. Kedua, pohon Mangrove yang dulunya seluas 3,5 ha dan Coral dengan kondisi 15 % adalah bagian dari kawasan pesisir yang sangat marjinal dan daripada mengeluarkan biaya yang besar lebih baik mencari kawasan lain untuk dilindungi. 

Ketiga, tidak ada dampak yg signifikan baik sedimentasi, perubahan pola arus, dan ekosistem pesisir akibat proyek reklamasi CPI 157 ha. Keempat, mempertanyakan kesaksian dan meminta data dari saksi fakta yg telah dihadirkan (nelayan2) terkait dampak reklamasi CPI. Kelima, reklamasi CPI adalah bagian dari konsep mitigasi bencana yang dilakukan oleh Pemprov Sulsel.  Apakah hakim tergugah?

Terlepas dari apakah gugatan Walhi menang atas Pemerintah Provinsi terkait reklamasi CPI di laut dan pantai sekitar Losari dapat dimaknai sebagai perkembangan baru masyarakat sipil di Makassar dan telah memberi ruang aktualisasi bagi aktivis lingkungan kelautan.

Irham Rapy (foto: istimewa)
Irham Rapy (foto: istimewa)
LSM dan Pemihakannya

Setelah puluhan LSM tumbang oleh Kredit Usaha Tani (KUT) tahun 90an, dan kian lesunya gerakan masyarakat sipil karena aktivias LSM tersedot ke kursi Legislatif dan proyek-proyek bancakan donor dan organisasi lokal, minggu ini saya merasakan geliat yang mencerahkan sekaligus meneguhkan bahwa LSM khususnya LSM Kelautan tidak mati di Makassar. Walhi jadi sumbunya. Bersama Walhi, lembaga-lembaga non Pemerintah (LSM) memilih jalan beriringan sejak tahun lalu demi menahan laju reklamasi yang menjadi pilihan paling mudah dalam membangun Makassar.

Mereka lalu mengorganisir gerakan anti-reklamasi di Makassar sebab bagi mereka, reklamasi telah mengakuisi ruang publik dan hanya akan memberikan keuntungan berlipat kepada investor dan pemilik modal besar. Kehadiran Yayasan Konservasi Laut yang diwakili oleh Irham Rapy, yang saya kerap panggil Rappunk ini bersama Yusran Nurdin Massa dari LSM Blue Forest, aktivis LSM lainnya yang juga alumni Ilmu Kelautan Unhas mewakili LSM Kelautan mendampingi Walhi dan warga yang dirampas ruang sosialnya membuat kita bangga, betapa gagasan membangun kota tidak boleh sepenuhnya diserahkan ke Pemerintah. Bahwa membangun tidak boleh hanya melulu bicara demi kepentingan ekonomi, demi perputaran uang belaka, pembangunan harus dilihat secara proporsional, sungguhkah sensisitif derita sosial atau nestap lingkungan?

Pada situasi, ini organisasi masyarakat sipil harus semakin kuat menggedor dominasi yang semena-mena.

Kehadiran mereka, di pusaran perlawanan Walhi dan warga kepada Pemerintah merupakan sinyal baik bagi tumbuh kembangnya disiplin Ilmu Kelautan dalam menguatkan proses dan dialektika pembangunan daerah pesisir. Sebab selama ini, dominasi pengambil kebijakan begitu dominan dan cenderung mengabaikan prinsip-prinsip mendasar dalam pembangunan—konsultasi ke pemilik pengetahuan (masyarakat).

Berbekal pengalaman sebagai pekerja LSM dengan kualifikasi peneliti terumbu karang, pemberdaya masyarakat pesisir, peduli mangrove dan memahami tata kelola pesisir dan laut termasuk Geographical Information System (GIS) merupakan peluru yang bisa melumpuhkan perencana yang semena-mena mengabaikan aspek sosial, ekonomi dan ekologi.

Demo Walhi menolak reklamasi di Makassar (foto: pojoksulsel)
Demo Walhi menolak reklamasi di Makassar (foto: pojoksulsel)
Irham dan Yusran ini tak datang tiba-tiba, mereka membahas secara sistematis tentang perubahan-perubahan sosiologis dan ekologis di sekitar lokasi CPI itu sejak tahun lalu. Pilihan prinsip dan konstruk mereka karena melewati rentang sejarah yang membelajarkan, tentang kerusakan ekologi karena ambisi ekonomi, karena bom ikan, bius dan eksploitasi serampangan. 

Itu pula sebagai alas pijak mengapa mereka begitu mencintai disiplin ilmu yang dipelajarinya di kampus. Bulat tekad mereka memperjuangkan pesisir dan laut Makassar sebab mereka percaya, di kerumitan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut itu, kolaborasi adalah niscaya. Pemerintah tak boleh jalan sendiri apalagi semena-mena.

Bagi saya, Irham dan Yusran telah mereklamasi kekosongan kepedulian pada lingkungan, pada perjuangan yang kerap terputus di jalan-jalan raya, mereka mengawal sampai ruang sidang. Hal yang tak lagi lazim dipelototi dan ditongkrongi LSM dan gerakan mahasiswa sejak Reformasi bergulir—advokasi pesisir dan laut hingga ke ruang sidang!

Jika demikian adanya, sebagai alumni Ilmu Kelautan, kita tentu bangga, bahwa Universitas Hasanuddin, tidak merugi menyiapkan jurusan Ilmu Kelautan sejak tahun 1988, bukannya disiplin bernama Reklamasi Keilmuan. Rappunk dan Yusran, bersama Walhi Sulsel tentu tak bicara gelar akademik, dia bicara tentang pemihakan pada yang dirampas hak-haknya, saya, Anda, dan kita semua.

Keraguan Lutfi Natsir dari Biro Hukum dan HAM Pemprov Sulsel tidak beralasan sebab Irham dan Yusran adakah aktiviis di pesisir dan laut sejak awal tahun 2000an, yang merasakan dan memahami persoalan-persoalan di pesisir dan laut, yang beda adalah dia tak punya sertifikat Profesor dan Doktor seperti yang sedang digamit Pemprov.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun