***
Ada makna penting dari kunjungan saya ke Kodingareng ini. Ada kesadaran yang berlipat-lipat bahwa nampaknya, selama ini kita kerap membenci atau menebar antipati pada suku bangsa lain karena ada sentimen kepentingan sepihak semata, lantaran politik, fanatisme buta atau karena mengejar kekuasaan belaka. Kita terlalu mudah dikipas-kipasi untuk kemudian meletupkan amarah dan kebencian.
Dari Kodingareng, saya merasakan kesadaran baru yang menguat bahwa konstruk berbangsa ini harus dipahami sebagai bersumber dari aliran yang sama, perbedaan paras dan gaya bicara adalah perbedaan yang harus diterima sebagai rahmah. Bukankah dalam Islam, agama yang saya anut, ditegaskan bahwa istilah Rahmatan Lil'Alamin berarti menjadi rahmat bagi seluruh dunia berikut isinya sebagaimana kita percaya bahwa Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia. Islam mengajarkan persaudaraan, kedamaian dan mendorong hubungan harmonis antar suku bangsa. Islam sebagaiana agama lain tentu sangat membenci kekerasan.
Kita kemudian bisa menimbang sekali lagi bahwa, saya, Gaffar, Kahar, kita serta orang-orang di Kodingareng Lompo, atau seantero Nusantara adalah bagian besar suku bangsa Indonesia. Kita serumpun sebagai keturunan bangsa Melayu Muda bersama Jawa, Melayu, Minang, Makassar, Bugis dan lain sebagainya. Induknya adalah para pendatang dari Dongson atau Tongkin itu.
Jika demikian adanya, siapalah harus dimusuhi?
 --
Tebet, 01/05/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H