Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kita dan Muara Aliran Oei

1 Mei 2016   08:29 Diperbarui: 1 Mei 2016   14:47 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkait Marga Oei ini, berdasarkan hasil penelitian yang menghasilkan daftar 100 nama keluarga yang paling umum yang ditampilkan pada 2006, nama Oei masuk dalam kelas Tionghoa—Min Nan yang meliputi Hokkien, Taiwan atau Teochew. Oei segolongan marga  Ng, Wee, Oei, Ooi, Uy dan Ung. Oei masuk dalam peringkat ke-7 paling lazim. Min Nam ini meliputi Hokkien dan dianggap relatif berbeda dengan Mandarin dan Kanton.

Dari manakah datangnya Tionghoa di Kodingareng Lompo, mengapa mereka ada di Kodingareng, mengapa mereka bisa secemerlang itu, mungkin tak menarik lagi untuk ditanyakan dengan tegas atau dengan mata mendelik. Mertua laki-laki saya, Anwar H. Husen adalah keturunan Tionghoa dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Teman-teman sepermainan saya sejak SD di tahun 70-an di Kota Galesong adalah keturunan Tionghoa marga Ho. Keluarga di Kampung Lanna dan Bayowa telah berasimilisasi dengan keturuan Tionghoa sejak lama.

Tahun-tahun 80-an, nama Haji Syamsu sangat tenar sebagai pengusaha perikanan dan merupakan keturunan Tionghoa. Tahun-tahun berikutnya, keturunan Tionghoa di Galesong beranak-pihak, menjadi pengusaha, bergelar haji, menjadi kepala desa hingga menjadi polisi. Demikian pula anaknya yang bernama Haji Haeruddin yang biasa saya panggil Haji Rung.

Gambaran di atas tentu bukanlah hal unik sebab telah terjadi begitu spontan. Dan bukan kali pertama. Kami atau kita adalah bagian dari proses asimilasi yang spontan dan nyata bahwa tiada lagi batasan antara yang Tionghoa dan penduduk pribumi, setidaknya di Galesong dan Makassar.

Kata pribumi nampaknya tak lagi penting saat kita kemudian membaca bahwa sejak datangnya orang-orang Deutero Melayu atau Melayu Muda ke Nusantara pada rentang tahun 400-300 SM mereka telah sukses berasimilasi dengan pendahulunya yaitu bangsa Proto Melayu. Pendatang kedua, atau dikenal sebagai gelombang kedua Deutero ini disebut mampu beradaptasi dengan baik di pesisir dan menguasai urusan navigasi. Mereka adalah pelaut andal sebagaimana yang juga diyakini oleh pelaut-pelaut Bugis Makassar atau Buton.

“Kakek-nenek kami adalah pedagang dari negeri jauh.” Teringat obrolan saya dengan Ho Ho Ping alias Baba Guru di Galesong tahun 2009. Menurut Baba Guru, kedatangan pertama Marga Ho adalah di sekitar kawasan Bontoala, Kota Makassar. Lalu mereka datang dan menetap di Kampung Lanna pada tahun 1912. Tepatnya pada 12 April 1912. “Nenek moyang asal dari Desa Pa Li, kawasan Chang Co atau biasa disebut Hokkian,” kata Baba Guru.

20160421-052136-57255babec9673e804d551ba.jpg
20160421-052136-57255babec9673e804d551ba.jpg
Suasana kuburan di Kodingareng (Foto: Kamaruddin Azis)

Kehadiran marga Oei di Kodingareng atau Ho di Galesong, Tjoa di Selayar, di Lanna’, Bayowa, Tallo, Gowa hingga hampir di seluruh pelosok dan pesisir Nusantara bukanlah saat ini saja. Dia merupakan bagian dari aliran besar migrasi manusiawi, ketika sekat-sekat administrasi tak seketat sekarang.

Mereka adalah bagian dari migrasi sejak lampau, dari Tanah Yunan (Teluk Tonkin). Mereka menjejak Nusantara setelah menyurusi perairan Vietnam, melintasi Semenanjung Melayu lalu tersebar di Nusantara, di Sulawesi Selatan hingga Kodingareng Lompo. Menurut catatan, para pendatang ini mempunyai peninggalan seperti kapak dan nekara. Nekara ini dapat dilihat seperti yang ditemukan di Pulau Selayar.

Para pendatang mengibarkan layar, mengalir mengikuti arah angin, membawa benda-benda dari logam sebagai asesoris kehidupan. Ras Melayu Muda ini akhirnya menjadi nenek moyang sebagian besar bangsa Indonesia termasuk di Pulau Kodingareng ini, tentu setelah melewati ruang dan waktu secara berlapis dan lama. Pun seperti kita.

Jika melihat kuburan Tionghoa yang besar di Kodingareng ini kita bisa mengingat pula karya-karya besar para pendatang dari Tongkin ini melalui bangunan batu besar. Di buku sejarah kita pasti pernah mendengar menhir atau dolmen. Mereka para pendatang itu mempunyai kuburan batu berundak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun