[caption caption="Sumber: tribunnews.com"][/caption]"Untuk mempercantik pulau, menata seperti pantai-pantai indah di luar negeri, tak perlu ambil batu karang lalu bangun rumah batu. Hadapkan tangga rumah kita ke pantai, pantai akan terawat dengan sendirinya,” ujar Malik B. Masry, mantan Wali Kota Makassar di Pulau Barrang Caddi, 1997.
Refleksi dari Makassar
Malik gamang melihat pesisir Makassar saat itu. Ada yang inspiratif dari gaya kepemimpinan Malik. Dia sangat ingin menata Losari, tapi juga tetap respek pada warganya. Lantaran ingin melihat Losari baik menurut perspektif warganya, dihelatlah sayembara disain Losari. Sayembara itu tak membuahkan hasil. Warga enggan mengubah konstruk Losari. Tiada konflik di situ hingga Malik pergi.
Wali kota berikutnya, Maula, sukses memboyong pulang nama Makassar setelah sebelumnya bernama Ujung Pandang. Makassar sendiri merupakan akumulasi makna dari ‘Makkasara’ atau yang eksis dan benar. Dengan nama itu, sejarah dipertaruhkan; antara mempertahankan kekhasan Makassar pada tradisi sosial-budaya menjadi etalase ekonomi, layaknya kota modern, seperti saat ini, saat mesin-mesin dan tiang pancang mengangkangi pesisir barat Kota Daeng melalui reklamasi yang kian bablas.
“Kita bangun Makassar sebagai kota jasa,” kata Ilham A. Sirajuddin, wali kota setelah Maula. Di masa Ilham, aktivitas reklamasi pantai Losari hingga selatan kota meluas meski beberapa ahli Kelautan Makassar dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, belasan tahun silam mengingatkan tren degradasi biologi di muara Jenebereng, Tallo dan perairan Losari. Ratna M. Manikam, peneliti lainnya mengatakan; meski bermanfaat, reklamasi rentan berperkara. Reklamasi bisa berdampak kompleks pada keterkaitan fungsi oseanografi, drainase kota dan dampak abrasi di wilayah sekitarnya.
Jika kita bertanya pada orang-orang tua kita, mereka pasti tahu apa itu Lelong Rajawali, Losari, Kayu Bangkoa, Jambatang Bassia, Rotterdam, Paotere hingga Untia. Kawasan ini adalah kawasan tradisional Makassar. Warga menyimpan kenangan dan pengalaman heroik kehidupan, juga romantisme. Dulu.
[caption caption="Terus membangun di pesisir | Dokpri"]
Imbasnya, tahun lalu, ada kisruh antara pengembang, otoritas pemerintah dan warga pesisir membara, ada aksi pembakaran eskavator, pembakaran motor, konflik antar warga dan pengembang membuat aparat keamanan mulai kerepotan. Pemanfaatan pesisir Makassar telah menimbulkan gejolak sosial. Konflik tanah hingga ketidakjelasan status hukum reklamasi ternyata membuat beberapa pihak tersudut dan menderita.
Pemanfaatan Vs Alas Hukum
Di atas kertas rencana, Pemkot menempatkan kawasan perekonomian dan pariwisata kota diplot di pesisir selatan; konservasi bakau di pesisir utara, kawasan pelabuhan dan industri di tengah. Dari sini kemudian jelas mengapa sejak beberapa tahun terakhir perusahaan-perusahaan besar mengincar sekitar Losari dan Tanjung Bunga.
Pemprov mendeklarasikan pemanfaatan kawasan Tanjung Bunga sebagai hak eksklusif berdasarkan SK Gubernur Sulsel yang mengizinkan GMTD untuk menggarap luasan 1.000 hektar. Pemkot meradang dan meminta GMTD tak memonopoli bisnis properti di kawasan tersebut.
Pemkot mengacu pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Gong konflik mulai ditabuh. Pemkot benar, meski alas hukum yang lebih pokok adalah zonasi atau kavling peruntukan yang diatur oleh undang-undang. Tapi apakah Pemkot telah menghasilkan Rencana Tata Ruang Wilayah? Apakah zonasi yang menjadi ruang aktualisasi perencanaan dan pemanfaatan pesisir telah ada? Apakah Amdal telah dilaksanakan di sepanjang 36 Km, Pantai Makassar? Mana lebih penting, membangun artefak modernitas atau menyiapkan landasan operasional?
Lalu mengapa reklamasi di Makassar seakan tak bisa ditawar lagi?
“Kita merujuk ke penataan Marina Bay (Singapura), Incheon (Korea Selatan), dan Hawaii. Itu yang dikatakan arsitek Kota Makassar, Danny Pomanto sebelum dia terpilih jadi wali kota. Apa yang dinyatakan Danny ini diamini oleh wali kota sebelumnya. Reklamasi untuk pengembangan kawasan terpadu.
Dari Makassar, kita bisa garis bawahi bahwa para perencana dan pemimpin memberi kita mimpi. Tentang pusat kota baru di sekitar Losari dan Tanjung Bunga, ada museum, rumah mewah, istana negara, masjid, monumen, kantor pemerintah, taman, padang golf, resort, kantor, pusat penelitian, gedung serbaguna, apartemen. Istana negara dan kantor pemerintah akan berdiri di atas lahan seluas 150-an hektar.
Pertanyaannya, proses konsultasi apa yang telah ditempuh agar kota tetap sebagai milik warganya, bukan segelintir orang yang bertameng di atas intelektualitas, simbol agama dan kepentingan ekonomi semata? Sudahkah dipikirkan jika membangun tanggul di sepanjang pantai akan menghalangi aliran air dari kota? Jika hujan deras, banjir mengintai?
Seharusnya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2012 sebagai manifestasi pasal 34 ayat 3 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 (sebelum direvisi) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang harus diprioritaskan. Inilah pedoman. Reklamasi harus sesuai tata ruang wilayah. Reklamasi harus sesuai aspirasi warga, bukan fotokopi negara atau kota lain. Kita butuh ciri khas, jati diri kota.
Empat Syarat
Reklamasi pantai tak bisa dilihat pada manfaat saat ini, tetapi jauh ke depan. Reklamasi sebagai pilihan dalam aplikasi pengetahuan untuk perubahan harus ditelisik secara menyeluruh, pada ruang dan waktu, pada yang dihilangkan atau diadakan, pada yang diubah dan berdampak, hingga pada yang dirampas dan diubah paksa atau samar oleh 'kuasa' lain. Kita bisa mengaminkan pembangunan berbungkus reklamasi dengan 4 syarat.
Satu, tak merusak tatanan ekosistem asli, pasir, pantai, terumbu karang, lamun, dan lain-lain. Merusak tatanan ini hanya akan menenggelamkan kita di perjalanan waktu. Kaum cendekia harusnya telaten memberi peringatan pada siapapun tentang membaca perubahan itu, lampau, kini dan nanti. Kalau merasa cendekia namun kesulitan membaca alam, baca deh buku Collapse, Jared Diamond itu. Di buku itu, betapa hilangnya satu entitas komunitas karena kebebalan mereka dalam memandang sumber daya alam, hutan, tanah dan airnya.
Kedua, reklamasi pantai harus memuaskan dahaga keadilan sosial. Jika reklamasi merampas hak-hak sipil, warga, nelayan, pelaut, karena penguasa punya agenda terselubung, membarternya dengan 'pemilik kuasa uang' dari planet lain, dari konglomerasi bengis, dari---horang kayah culas, lawan!
Ketiga, reklamasi pantai harus mendatangkan manfaat ekonomi pada siapapun, pada pencari kepiting, kekerangan, pencari ganggang, pemancing, warga biasa, penikmat sunset, penikmat pisang epe, dan lain sebagainya. Jika reklamasi hanya akan menawarkan kursi mewah ekslusif, jendela swasta dan intim, koridor kenikmatan melalui hotel dan bilik rahasia pada orang kaya baru berhati batu, pada yang seenaknya menguasai langit, pantai, laut, yang kita rawat dan banggakan sejak lampau, lawan!
Keempat, reklamasi pantai harus punya alas hukum. Ini bukan soal mana dulu, telur atau induk. Alas hukum adalah rujukan saat anda hendak meluluskan rencana melalui beton-beton, tanggul, reklamasi dan gedung pencakar langit. Rujukannya ke mana? Apakah ada, kalau ada, apakah tidak bertentangan dengan payung hukum yang lebih tinggi?
Mari periksa realitas reklamasi dan rujukan hukumnya di Makassar. Apakah induk RT/RW sudah kelar? Tata ruang laut kota kelar? Masih dalam proses yang tak jelas kapan tuntasnya. Lalu mengapa banyak telur kerakal bertebaran di sepanjang Losari hingga Barombong, atau dari Kayu Bangkoa ke Untia?
Tebet, 5 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H