“Kita merujuk ke penataan Marina Bay (Singapura), Incheon (Korea Selatan), dan Hawaii. Itu yang dikatakan arsitek Kota Makassar, Danny Pomanto sebelum dia terpilih jadi wali kota. Apa yang dinyatakan Danny ini diamini oleh wali kota sebelumnya. Reklamasi untuk pengembangan kawasan terpadu.
Dari Makassar, kita bisa garis bawahi bahwa para perencana dan pemimpin memberi kita mimpi. Tentang pusat kota baru di sekitar Losari dan Tanjung Bunga, ada museum, rumah mewah, istana negara, masjid, monumen, kantor pemerintah, taman, padang golf, resort, kantor, pusat penelitian, gedung serbaguna, apartemen. Istana negara dan kantor pemerintah akan berdiri di atas lahan seluas 150-an hektar.
Pertanyaannya, proses konsultasi apa yang telah ditempuh agar kota tetap sebagai milik warganya, bukan segelintir orang yang bertameng di atas intelektualitas, simbol agama dan kepentingan ekonomi semata? Sudahkah dipikirkan jika membangun tanggul di sepanjang pantai akan menghalangi aliran air dari kota? Jika hujan deras, banjir mengintai?
Seharusnya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2012 sebagai manifestasi pasal 34 ayat 3 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 (sebelum direvisi) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang harus diprioritaskan. Inilah pedoman. Reklamasi harus sesuai tata ruang wilayah. Reklamasi harus sesuai aspirasi warga, bukan fotokopi negara atau kota lain. Kita butuh ciri khas, jati diri kota.
Empat Syarat
Reklamasi pantai tak bisa dilihat pada manfaat saat ini, tetapi jauh ke depan. Reklamasi sebagai pilihan dalam aplikasi pengetahuan untuk perubahan harus ditelisik secara menyeluruh, pada ruang dan waktu, pada yang dihilangkan atau diadakan, pada yang diubah dan berdampak, hingga pada yang dirampas dan diubah paksa atau samar oleh 'kuasa' lain. Kita bisa mengaminkan pembangunan berbungkus reklamasi dengan 4 syarat.
Satu, tak merusak tatanan ekosistem asli, pasir, pantai, terumbu karang, lamun, dan lain-lain. Merusak tatanan ini hanya akan menenggelamkan kita di perjalanan waktu. Kaum cendekia harusnya telaten memberi peringatan pada siapapun tentang membaca perubahan itu, lampau, kini dan nanti. Kalau merasa cendekia namun kesulitan membaca alam, baca deh buku Collapse, Jared Diamond itu. Di buku itu, betapa hilangnya satu entitas komunitas karena kebebalan mereka dalam memandang sumber daya alam, hutan, tanah dan airnya.
Kedua, reklamasi pantai harus memuaskan dahaga keadilan sosial. Jika reklamasi merampas hak-hak sipil, warga, nelayan, pelaut, karena penguasa punya agenda terselubung, membarternya dengan 'pemilik kuasa uang' dari planet lain, dari konglomerasi bengis, dari---horang kayah culas, lawan!
Ketiga, reklamasi pantai harus mendatangkan manfaat ekonomi pada siapapun, pada pencari kepiting, kekerangan, pencari ganggang, pemancing, warga biasa, penikmat sunset, penikmat pisang epe, dan lain sebagainya. Jika reklamasi hanya akan menawarkan kursi mewah ekslusif, jendela swasta dan intim, koridor kenikmatan melalui hotel dan bilik rahasia pada orang kaya baru berhati batu, pada yang seenaknya menguasai langit, pantai, laut, yang kita rawat dan banggakan sejak lampau, lawan!
Keempat, reklamasi pantai harus punya alas hukum. Ini bukan soal mana dulu, telur atau induk. Alas hukum adalah rujukan saat anda hendak meluluskan rencana melalui beton-beton, tanggul, reklamasi dan gedung pencakar langit. Rujukannya ke mana? Apakah ada, kalau ada, apakah tidak bertentangan dengan payung hukum yang lebih tinggi?
Mari periksa realitas reklamasi dan rujukan hukumnya di Makassar. Apakah induk RT/RW sudah kelar? Tata ruang laut kota kelar? Masih dalam proses yang tak jelas kapan tuntasnya. Â Lalu mengapa banyak telur kerakal bertebaran di sepanjang Losari hingga Barombong, atau dari Kayu Bangkoa ke Untia?
Â