[caption caption="Suasana lantai 2"][/caption]Kota Tua Jakarta, tak selalu identik ragam aksi teaterikal, sepeda tua, noni-noni menor Belanda, gebyar warna, gelak tawa dan sekotak wahana saweran atau decak kagum semata. Ada saat dimana kita harus berkelana ke kanal waktu—pada sejarah keagungan kreasi, tradisi dan budaya bangsa Nusantara. Ke Museum misalnya.
***
Minggu, 6 Maret 2016. Saya menyambut pagi dengan gesa.Usai shalat subuh yang telat, saya percepat langkah ke stasiun Tebet nan riuh. Letaknya hanya sepelemparan batu dari kediaman di Tebet Utara 2. Sebenarnya buka awal hari yang baik. Saya mengubur rencana untuk tiba di pelataran Kota Tua Jakarta tepat pukul 7. Saya molor nyampe hingga pukul 10, saat matahari telah tertusuk tiang di kantor VOC itu.
Yang kedua, saya dihardik seorang nampak gila di komuniter destinasi Kota Tua Jakarta. Lelaki tua berkacamata yang mengenakan masker ini meracau dan berteriak sejadinya. Matanya ke saya, orang-orang tergelak.
Kembali ke ihwal Kota Tua. Turun dari komuter saya berputar ke lintasan underground yang telah dijejali para abang none yang buka lapak. Ini jalan atau ruas lapak? Lupakan saja sebab saya toh membeli sebuah topi seharga 25ribu. Bekal jika hendak berlama-lama di lapangan Fatahillah. Sembari berjalan saya teringat topi seharga 15ribu yang saya beli di pedagang asongan di Patrol, saat dalam perjalanan menuju Indramayu akhir tahun lalu. Model dan bahan nyaris sama tetapi ada selisih 10ribu.
Setelah merekam gambar di selasar jalan menuju taman Fatahillah, merekam sesiapa yang terlihat masih tidur di koridor, saya berputar mencari momen istimewa namun gagal. Saya memilih duduk di tepian memandangi bekar kantor Walikota Belanda nun lampua. Matahari yang tertutup awan serta orang-orang bersepeda warna-warni di tengah lapangan membuat saya tak betah. Melihat orang-orang bersepeda di lapangan itu membuat pandangan saya berkunang-kunang nyaris pusing.
Sedianya saya ingin keluar dari lapangan ini dan berencana ke kawasan Kalijodo. Tapi saya berhenti di salah satu sudut banguan tua.
“Buku ini dijual pak?,” kataku ke pria berbaju merah yang berdiri di sisi meja dalam kantor tersebut. Pria bermata tajam tersebut melihat saya dengan bibir menyungging senyum.
“Duduk, silakan duduk pak,” kata pria yang sedang jaga. Pagi itu, saya menepi dan menyapa penjaga stan Dinas Pariwisata Kota Jakarta. Adalah Pius, pria kelahiran Pulau Flores yang jadi penjaga pagi itu. Pius terlihat bersahabat dan ramah. Dia relatif baru menjadi pegawai harian lepas (PHL) di sini.
“Baru dua bulan, sebelumnya setahun di Monas,” kata Pius membalas saat saya perkenalkan diri sebagai blogger dan kerap menulis di Kompasiana. 9 lembar dokumen seperti buku, leaflet, peta dan ragam informasi lainnya disodorkannya.
“Silakan pak, gratis,” katanya datar saat saya bilang apakah ini harus dibeli. Dari dokumen itu ada yang memaparkan Kawasan Kota Tua, MICE Jakrta, Jakarta dan Wisata Kulinernya, Jakarta Wilayah Rekreasi, Jakarta Jendela Seni Budaya Indonesia, hingga Jakarta—Belanja Sampai Mati karya Miss Jinjing. Intinya, lembatan-lembaran informasi itu ingin memudahkan pengunjung dan sesiapun untuk mengeja dan menjamah Jakarta.