Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kutuju Museum di Kota Tua

10 Maret 2016   10:43 Diperbarui: 11 Maret 2016   02:17 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Suasana lantai 2"][/caption]Kota Tua Jakarta, tak selalu identik ragam aksi teaterikal, sepeda tua, noni-noni menor Belanda, gebyar warna, gelak tawa dan sekotak wahana saweran atau decak kagum semata. Ada saat dimana kita harus berkelana ke kanal waktu—pada sejarah keagungan kreasi, tradisi dan budaya bangsa Nusantara. Ke Museum misalnya.

***

Minggu, 6 Maret 2016. Saya menyambut pagi dengan gesa.Usai shalat subuh yang telat, saya percepat langkah ke stasiun Tebet nan riuh. Letaknya hanya sepelemparan batu dari kediaman di Tebet Utara 2.  Sebenarnya buka awal hari yang baik. Saya mengubur rencana untuk tiba di pelataran Kota Tua Jakarta tepat pukul 7. Saya molor nyampe hingga pukul 10, saat matahari telah tertusuk tiang di kantor VOC itu.

Yang kedua, saya dihardik seorang nampak gila di komuniter destinasi Kota Tua Jakarta. Lelaki tua berkacamata yang mengenakan masker ini meracau dan berteriak sejadinya. Matanya ke saya, orang-orang tergelak.

Kembali ke ihwal Kota Tua. Turun dari komuter saya berputar ke lintasan underground yang telah dijejali para abang none yang buka lapak. Ini jalan atau ruas lapak? Lupakan saja sebab saya toh membeli sebuah topi seharga 25ribu. Bekal jika hendak berlama-lama di lapangan Fatahillah. Sembari berjalan saya teringat topi seharga 15ribu yang saya beli di pedagang asongan di Patrol, saat dalam perjalanan menuju Indramayu akhir tahun lalu. Model dan bahan nyaris sama tetapi ada selisih 10ribu. 

Setelah merekam gambar di selasar jalan menuju taman Fatahillah, merekam sesiapa yang terlihat masih tidur di koridor, saya berputar mencari momen istimewa namun gagal. Saya memilih duduk di tepian memandangi bekar kantor Walikota Belanda nun lampua. Matahari yang tertutup awan serta orang-orang bersepeda warna-warni di tengah lapangan membuat saya tak betah. Melihat orang-orang bersepeda di lapangan itu membuat pandangan saya berkunang-kunang nyaris pusing.

Sedianya saya ingin keluar dari lapangan ini dan berencana ke kawasan Kalijodo. Tapi saya berhenti di salah satu sudut banguan tua.

“Buku ini dijual pak?,” kataku ke pria berbaju merah yang berdiri di sisi meja dalam kantor tersebut. Pria bermata tajam tersebut melihat saya dengan bibir menyungging senyum.

“Duduk, silakan duduk pak,” kata pria yang sedang jaga.  Pagi itu, saya menepi dan menyapa penjaga stan Dinas Pariwisata Kota Jakarta.  Adalah Pius, pria kelahiran Pulau Flores yang jadi penjaga pagi itu. Pius terlihat bersahabat dan ramah. Dia relatif baru menjadi pegawai harian lepas (PHL) di sini.

“Baru dua bulan, sebelumnya setahun di Monas,” kata Pius membalas saat saya perkenalkan diri sebagai blogger dan kerap menulis di Kompasiana. 9 lembar dokumen seperti buku, leaflet, peta dan ragam informasi lainnya disodorkannya.

“Silakan pak, gratis,” katanya datar saat saya bilang apakah ini harus dibeli.  Dari dokumen itu ada yang memaparkan Kawasan Kota Tua, MICE Jakrta,  Jakarta dan Wisata Kulinernya, Jakarta Wilayah Rekreasi, Jakarta Jendela Seni Budaya Indonesia, hingga Jakarta—Belanja Sampai Mati karya Miss Jinjing. Intinya, lembatan-lembaran informasi itu ingin memudahkan pengunjung dan sesiapun untuk mengeja dan menjamah Jakarta.

[caption caption="Pius, PHL Dinas Pariwisata DKI Jakarta "]

[/caption]Setelah menjelaskan panjang lebar tentang perannya, pekerjaan yang digelutinya, upahnya, keluarganya di Bekasi dan latar pendidikan bahasanya, Pius, pria berusia 46 tahun ini menyebut bahwa di sekitar Kota Tua ini terdapat 5 museum yang berdekatan.

“Lima?” decakku, setahuku hanya Museum BI dan Mandiri.  Rupanya Pemprov DKI Jakarta telah merevitalisasi kawasan Kota Tua sejak dua tahun lalu. Inilah upaya untuk menguatkan kembali khasanah kebudayaan Jakarta melalui revitalisasi yang menurut sumberdaya di suku dinas pariwisata akan terus berlangsung hingga 20 tahun mendatang. Wajar sebab selain pesona yang dikandungnya, Kawasan Kota Tua berikut museumnya adalah etalase sekaligus manifestasi tradisi dan kebudayaan bangsa

[caption caption="Asib dan Al (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]“Ada lima bangunan bersejarah yang sekarang menjadi museum. Bapak bisa lihat nanti,” kata Pius semangat. Kelima museum itu, seperti yang saya baca dari brosur yang diberikan adalah, Museum Sejarah Jakarta, biasa disebut pula Museum Fatahillah. Letaknya pesisr  di pusat kawasan Kota Tua. Adalah bekas Balai Kota Batavia yang berdiri pada tahun 1707 atau 299 tahun silam. Wow!

 Yang kedua adalah museum Seni Rupa dan Keramik terletak di sebelah timur  Museum Fatahillah. Gedung museum dibangun pada 1870. Aslinya adalah kantor Belanda bernama Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia. Kantor Dewan Kehakiman Kolonial Belanda. Dari sini kantor ini tawanan-tawanan hukum diterungku di lantai bawah kantor Balai Kota Jakarta.

 Yang ketiga adalah Museum Wayang yang terletak di sebelah barat dari Museum Fatahillah. Adalah Gereja Lama Belanda atau De Oude Hollandsche Kerk. Keempat adalah Museum Bank Mandiri terletak di depan halte busway Stasiun Kota. Museum ini merupakan wajah baru gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavi. NHM adalah perusahaan dagang Belanda. Gedungnya relatif baru dan dibangun pada 1929. Yang kelima adalah Museum Bank Indonesia yang terletak di sisi utara Museum Bank Mandiri, sebelumnya adalah Gedung De Javasche Bank yang dibangun pada tahun 1828.

 Dari penjelasan Pius, saya mencatat besarnya perhatian Pemprov DKI Jakarta pada khasanah budaya bangsa, pada  gedung-gedung tua yang mengandung nilai sejarah luar biasa ini dijabarkan melalui belasan unit pelaksana seperti  Pusat Pelatihan dan Sertifikasi Pariwisata, Pusat Pengembangan dan Pelayanan Informasi, Graha Wisata, Monumen Nasional, Anjungan Provinsi DKI Jakarta TMII, Museum Sejarah Jakarta, Wayang, Keramik & Seni Rupa, Bahari,  Tekstil, Museum Joang’45 dan lain sebagainya.

 ***

Matahari kian meninggi. Di luar, para tetamu Kota Tua larut dalam suka cita. Mereka memainkan sepeda warna-warni, berselfie ria hingga bergantian memandangi aksi teaterikal para penghibur, ada yang meniru lagak jagoan dengan peci dan sarung diselempang, noni-noni Batavia, pejuang dengan bedilnya, hingga yang duduk bersila serupa di atas angin. Di depan mereka terletak wadah penampung donasi pengunjung.

Beberapa pesepeda terlihat merapatkan barisan dan memberi tanda 1-2-3 pada juru potret. Mereka nampak bahagia di depan Museum Sejarah yang disebutkan sebelumnya. Museum yang juga menyiapkan ruang promosi bagi para pengunjung yang ditempati oleh Pius dan beberapa staf Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

Atas informasi yang diberikan Pius saya berbelok ke sisi timur. Melihat pilar teras banguan yang sangat menonjol saya memilih datang ke Museum Seni Rupa dan Keramik. Setelah membayar harga tiket Rp. 5ribu saya bergegas ke pintu museum. Dua orang pemuda sedang berfoto di depan bangunan yang terlihat asri ini. Memotret dibolehkan.

“Boleh pak, asal pakai kamera hape aja yah,” kata seorang muda yang berdiri di pintu museum saat saya bertanya boleh tidaknya mendokumentasi aset museum.

Museum Seni Rupa dan Keramik dulunya adalah sebuah bangunan tua yang didirikan pada tahun 1870. Menurut cerita, gedung ini dibangun untuk Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Casteel Batavia atau Dewan Kehakiman Benteng Batavia. Pernah dimanfaatkan oleh tentara KNIL sebagai markas lalu dilanjutkan oleh TNI. Pernah pula sebagai kantor Wali Kota Jakarta Barat pada rentang 1973-1976. Presiden Soeharto meresmikan gedung ini sebagai sebagai Balai Seni Rupa Jakarta pada tahun 1976 dan pada 1990 resmi menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik.

 Banyak hal menarik yang saya saksikan di ruangan museum ini. Mengingatkan saya pada buku sejarah Indonesia yang saya baca sejak SD. Tentang hasil karya seniman-seniman Indonesia nun lampau dari tahun 1800-an hingga kini. Sesaat kita masuk akan terpampang informasi sejarah gedung, ruang perkenalan,  lalu seni rupa masa prasejarah seperti cap tangan dan binatang di dinding gua Leang-leang, Maros, Sulawesi Selatan, seni rupa masa pendudukan Jepang, orde baru, hingga lukisan-lukisan tradisional.

Di museum tersebut kita akan dimanjakan oleh lukisan Raden Saleh, Mooi Indie atau lukisan keindahan alam Nusantara yang memesona orang Eropa, hingga pameran keramik dan karya patung Bali.

Ada periodeisasi saat melihat koleksi lukisan di museum ini ada ruang Raden Saleh periode 1880 – 1890, ruang Masa Hindia Jelita, karya-karya periode 1920-an, ruang persagi (karya-karya periode 1930-an hingga ruang Sekitar Kelahiran Akademis Realisme periode 1950-an hingga ruang Seni Rupa Baru Indonesia (karya-karya periode 1960 – sekarang.

Sebelum melihat lukisan-lukisan tersebut, saya menaiki tangga besi meliuk yang sungguh artistik. Di lantai dua terdapat beragam lukisan seperti yang disebutkan sebelumnya.

Saya menyapa seorang pria berambut cepak, atletis bersama seorang anak kecil. Namanya Asib Fepindi. Dia datang dari Bekasi dengan naik kereta untuk rekreasi di Kota Tua Jakarta. Setelah memandangi eksotisme bangunan tua di sekitar Gedung Fatahillah, seperti bekas kantor VOC, dia memboyong anaknya Ahmadinejad Al Ibnu Fepindi dipanggil Al. Al nampaknya belum genap 6 tahun ke museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta Kota. Al punya adik bernama Awan Merah Al Farisi.

[caption caption="Keramik pajangan (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]“Saya tahunya ada banyak museum di sekitar sini, makanya saya bawa saja anak saya ke sini,” katanya saat ditanyakan motif bertandang ke museum ini (06 Maret 2016). Asib saat itu sedang memotret anaknya Al di bawah salah satu lukisan andalan museum yang diresmikan Presiden Soeharto pada tanggal . Karyawan Yamaha di Kota Bekasi itu hanya berdua dengan anaknya. Selain Asip, pagi jelang siang itu, datang pula Dadang dan Hafiz dari Karawang. Mereka siswa SMK La Borti. Seperti pengakuannya.

“Tahunya sih baru sekarang, pas ada di taman Fatahillah, kami mampir aja ke sini,” kata Dadang yang saat itu baru saja difoto oleh Hafiz.  Selain mereka terlihat pula sepasang pria berkulit putih yang sedang didampingi seorang penerjemah. Mereka terlihat khusyu’ mendengarkan penjelasan tentang properti dan sejarah museum.

Minggu yang lempang di museum. Saya membaca kesunyian. Memang, ini adalah waktu yang tepat untuk menyesap pesan museum, tentang khasanah tradisi dan kebudayaan kita. Namun jika membaca kerumunan orang di tanah nan lapang di depan Museum Sejarah di Kota Tua, orang-orang bersukacita memandangi aksi teaterikal, sebagian memberi donasi, sebagian lainnya berlalu, berlalu sembari terbahak, saya mulai ragu tentang betapa timpangnya minat kita, pada ragam pesona pesan-pesan yang diboyong museum. Kita memang harus bekerja keras untuk mengajak orang-orang mencintai museum.

***

Saatnya kembali Tebet. Memesan tiket dari mesin-mesin terbaru yang dioperasikan PT. KAI. Kali ini saya pulang dengan setangkup rindu pada sejarah lampau di kampung halaman nuh jauh di sana, di Tanah Makassar.

 O iya, bagi anda yang belum sempat ke Kota Tua, rindu wisata, mari…Mari ke museum!

---

Tebet, 10 Maret 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun