Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kutuju Museum di Kota Tua

10 Maret 2016   10:43 Diperbarui: 11 Maret 2016   02:17 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Museum Seni Rupa dan Keramik dulunya adalah sebuah bangunan tua yang didirikan pada tahun 1870. Menurut cerita, gedung ini dibangun untuk Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Casteel Batavia atau Dewan Kehakiman Benteng Batavia. Pernah dimanfaatkan oleh tentara KNIL sebagai markas lalu dilanjutkan oleh TNI. Pernah pula sebagai kantor Wali Kota Jakarta Barat pada rentang 1973-1976. Presiden Soeharto meresmikan gedung ini sebagai sebagai Balai Seni Rupa Jakarta pada tahun 1976 dan pada 1990 resmi menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik.

 Banyak hal menarik yang saya saksikan di ruangan museum ini. Mengingatkan saya pada buku sejarah Indonesia yang saya baca sejak SD. Tentang hasil karya seniman-seniman Indonesia nun lampau dari tahun 1800-an hingga kini. Sesaat kita masuk akan terpampang informasi sejarah gedung, ruang perkenalan,  lalu seni rupa masa prasejarah seperti cap tangan dan binatang di dinding gua Leang-leang, Maros, Sulawesi Selatan, seni rupa masa pendudukan Jepang, orde baru, hingga lukisan-lukisan tradisional.

Di museum tersebut kita akan dimanjakan oleh lukisan Raden Saleh, Mooi Indie atau lukisan keindahan alam Nusantara yang memesona orang Eropa, hingga pameran keramik dan karya patung Bali.

Ada periodeisasi saat melihat koleksi lukisan di museum ini ada ruang Raden Saleh periode 1880 – 1890, ruang Masa Hindia Jelita, karya-karya periode 1920-an, ruang persagi (karya-karya periode 1930-an hingga ruang Sekitar Kelahiran Akademis Realisme periode 1950-an hingga ruang Seni Rupa Baru Indonesia (karya-karya periode 1960 – sekarang.

Sebelum melihat lukisan-lukisan tersebut, saya menaiki tangga besi meliuk yang sungguh artistik. Di lantai dua terdapat beragam lukisan seperti yang disebutkan sebelumnya.

Saya menyapa seorang pria berambut cepak, atletis bersama seorang anak kecil. Namanya Asib Fepindi. Dia datang dari Bekasi dengan naik kereta untuk rekreasi di Kota Tua Jakarta. Setelah memandangi eksotisme bangunan tua di sekitar Gedung Fatahillah, seperti bekas kantor VOC, dia memboyong anaknya Ahmadinejad Al Ibnu Fepindi dipanggil Al. Al nampaknya belum genap 6 tahun ke museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta Kota. Al punya adik bernama Awan Merah Al Farisi.

[caption caption="Keramik pajangan (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]“Saya tahunya ada banyak museum di sekitar sini, makanya saya bawa saja anak saya ke sini,” katanya saat ditanyakan motif bertandang ke museum ini (06 Maret 2016). Asib saat itu sedang memotret anaknya Al di bawah salah satu lukisan andalan museum yang diresmikan Presiden Soeharto pada tanggal . Karyawan Yamaha di Kota Bekasi itu hanya berdua dengan anaknya. Selain Asip, pagi jelang siang itu, datang pula Dadang dan Hafiz dari Karawang. Mereka siswa SMK La Borti. Seperti pengakuannya.

“Tahunya sih baru sekarang, pas ada di taman Fatahillah, kami mampir aja ke sini,” kata Dadang yang saat itu baru saja difoto oleh Hafiz.  Selain mereka terlihat pula sepasang pria berkulit putih yang sedang didampingi seorang penerjemah. Mereka terlihat khusyu’ mendengarkan penjelasan tentang properti dan sejarah museum.

Minggu yang lempang di museum. Saya membaca kesunyian. Memang, ini adalah waktu yang tepat untuk menyesap pesan museum, tentang khasanah tradisi dan kebudayaan kita. Namun jika membaca kerumunan orang di tanah nan lapang di depan Museum Sejarah di Kota Tua, orang-orang bersukacita memandangi aksi teaterikal, sebagian memberi donasi, sebagian lainnya berlalu, berlalu sembari terbahak, saya mulai ragu tentang betapa timpangnya minat kita, pada ragam pesona pesan-pesan yang diboyong museum. Kita memang harus bekerja keras untuk mengajak orang-orang mencintai museum.

***

Saatnya kembali Tebet. Memesan tiket dari mesin-mesin terbaru yang dioperasikan PT. KAI. Kali ini saya pulang dengan setangkup rindu pada sejarah lampau di kampung halaman nuh jauh di sana, di Tanah Makassar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun