Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

135 Likes pada Rindu Rumah Lampau Bugis-Makassar

28 Februari 2016   09:58 Diperbarui: 29 Februari 2016   01:48 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggapan silih berganti. Dafiuddin Salim, dosen Kelautan di Universitas Mulawarman jatuh cinta pada tangga. “Posisi tangganya mantap kanda,” katanya.  Menurutnya, ihwal tangga, ada juga menghadap ke samping, mencirikan orang Bugis, kalo menghadap ke depan (seperti pada gambar) mencirikan orang Makassar.

“Bukan begitu kanda? Kangen dengan kampung halaman ini,” ucapnya dari Banjabaru, Kalimantan Selatan. Nur Isdah Idris dari Makassar menyatakan kalau rumah begini masih banyak di kampung-kampung. “Masih begini rumah kerabat di kampung,” balasnya. Budi Santoso seorang PNS Pemprov Sulawesi yang sedang kuliah di Australia mengatakan ini luar biasa.

“Wow so amazing photo..” tulisnya dari Melbourne. Selain Mas Budi ada pula Nandar, dosen di UNM Makassar, Gusni Amir, Suardi Daeng Ropu, Ririn, Harianto, Baktiar seorang dosen Unhas. Rara Balasong, sahabat SMA saya yang tinggal di Jerman, mengirim pesan. “Aku rindu makan(g) ikan di begitu juga,” candanya.

Marco Kusumawijaya yang digadang jadi Calon Walikota DKI Jakarta ikut komen, “Daeng sempat tinggal di rumah demikian?” tulisnya. Saya jawab penah, setahuku tahun 1981 rumah panggung kami berganti batu.  Seorang sahabat lainnya, Fatmawaty Nur, membalas dengan kata sastrawi dan mengundang lambaian sapu tangan.

“Iyya rindu. Hikz, dulu rumah bapak besar, di belakang ada pohon mangga, di bawah rumah ada balai-balai, kalau siang turunki karena panas di atas. Semriwing di bawah. Tapi biasa disiram dulu (dengan air) balai-balainya. Biasa ada tai ayam, dia berak di balai-balai. Samping kiri rumah ada sawah, kanan tempat angon sapi, belakang rumah bukit. Kalau malam saya suka buka gorden kamar. Jendelanya besar, jadi seperti nonton film layar lebar ada sawah disinari bulan purnama. Pas waktu itu itu masa-masanya saya lagi jatuh cinta. Dan rumah ini., seperti rumah bapakku. Dulu…”.

[caption caption="Bersantai di teras rumah panggung (foto: Kamaruddin Azis)"]

[/caption]

Membaca postingan Fatmawaty seperti kita ikut benam dalam pusaran rasa rindu yang mengaduk jiwa dan raga bukan?. Sedih? Terharu? Atau terserang gejala pilek?

Nazilla Najwa, sahabat saya nun jauh di Kabul, Afghanistan menuliskan, “Still remember such simple, beautiful and full of love houses.” Nazilla pernah datang ke Indonesia tahun 2014, dia melihat rumah begini di pedalaman Takalar. Di Puntondo, rumah pesisir. Seperti kita, diapun terkesan. Pada peninggalan lampau yang dari tahun ke tahun semakin langka.

Saya kira kita memang sedang rindu suasana rumah lampau, rumah sederhana dan mendamaikan. Mungkin bukan fisiknya, tapi semangat yang dikandungnya, pada kelonggaran memandang makrokosmos dari jendela rumah di empat penjuru rumah, pada kerjasama sosial yang bisa terungkit dari pintu rumah yang terus terbuka dari pagi hingga petang, pada tatatan unsur-unsur kehidupan yang harmonis (ala desa).

Mungkinkah punya rumah modern yang memboyong unsur-unsur itu?

Tebet, 28 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun