Berdasakan “sumpah setia” tersebut, Sultan berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Besar. Sedangkan pihak Bugis (Opu-Opu Bugis Lima Bersaudara) diberikan kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda. Sehingga sejak itu, muncul sebuah konsep pemerintahan yang modern karena segala segala kebijakan pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tangan Sultan, namun roda pemerintahan dilaksanakan oleh Yang Dipertuan Muda. Berturut-turut pemegang jabatan Yang Dipertuan Muda pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman adalah Daeng Marewa (1722-1729), Daeng Celak (1729-1749), Daeng Kamboja (1749-1777).
Selain versi ini ada juga cerita lain mengenai dominasi orang Bugis Makassar di Kalimantan bagian timur. Ketika Kerajaan Gowa sedang mencapai masa kejayaannya, banyak di antara raja-raja dan keluarga bangsawan Bugis yang tidak mau takluk pada Sultan Gowa dan melarikan diri, berpindah ke Kalimantan Timur bersama-sama dengan rakyat yang setia kepadanya. Pada perpindahan tersebut mereka mendapat rintangan dari raja-raja di Kalimantan. Di Kerajaan Kutai, rombongan Bugis pimpinan Daeng Sitebba yang digelari Pua Ado menyerang kerajaan Kutai.
Karena pertempuran itu, Ibu Kota kerajaan Kutai dipindahkan lebih jauh masuk sungai Mahakam, yaitu Tenggarong sekarang. Pua Ado kemudian berkuasa di daerah Samarinda. Pendatang dari Bugis intim dengan salah satu kerajaan lainnya bernama Kerajaan Pasir lantaran kesesuaian politik dan saling pengertian.
Kini, tidak kurang dari sejuta penduduk Kalimantan adalah keturunan Bugis Makassar, 300 ribu di Sumatera dan ratusan ribu di Malaysia dan Singapura. Mereka adalah perantau yang membawa bekal tiga prinsip sekaligus pesan para tetua ketika melepas anaknya pergi merantau. Karena uang bukan segalanya maka para tetua berpesan pada pentingnya menerapkan tiga pucuk atau Talla Cappa’. Orang Makassar dan Bugis mengucapkan ini dengan bahasa berbeda namun prinsipnya sama.
Tallu Cappa’ dalam bahasa Makassar seperti berikut ini;
Nia antu tallu cappa’ bokonna tu lampaiyya,
iyamintu, cappa’ lila,
cappa’ kabura’neang,
cappa’ badi’.
Adalah tiga ujung yang jadi bekal bagi sesiapa yang hendak merantau, ujung lidah, ujung kemaluan, dan ujung badik. Ketiganya berkorelasi pada peluang sekaligus cita-cita, bahwa saat merantau kita harus mamanfaatkan lidah dan pengetahuan lisan, ujung kemaluan berkaitan dengan niat menjaga harga diri dan membuka peluang untuk menyambung generasi, ketiga badi’ berkaitan dengan keberanian dan ketegasan.
Merantau bagi manusia Bugis-Makassar tak melulu bicara penaklukan, tetapi adaptasi, atau paling rendah bertahan di negeri orang dengan hidup tidak direndahkan. Tallu Cappa adalah tahapan dalam proses transformasi diri, adaptasi atau bertahan tersebut. Pada implementasinya, Tallu Cappa’ ini sangat berkaitan dengan konteks, pada ruang dan waktu.