Sajian komplit gangan khas Belitung
Siang tanggal 11 November 2015, mobil yang dikemudikan Hardy (42 tahun), warga Belitung keturunan Bugis Bone mengantar saya dan Ishak mengarah ke warung di salah satu sudut kota Tanjung Pandan. Ishak adalah alumni Kelautan Unhas yang lahir dan besar di Manggar.
“Daeng sudah pernah makan sup gangan?,” tanya Hardy.
Saya menggeleng. “Ayolah kita ke sana, saya ada warung langganan. Sering ke sana kalau ada tamu. Terakhir saya bawa orang dari Papua,” ajak Hardy.
Gangan? Terus terang, saya baru tahu ihwal ini. Di ingatan saya, kata gangan ini mengingatkan saya pada kata ‘gangang’, atau sayur dalam bahasa Makassar.
Tepat pukul 12.00 waktu Kota Tanjung Pandan, kami sampai di warung yang dimaksud. Warung rumahan, Warung Ibu Sri, itu yang saya dengar dari Hardy. Beberapa perempuan sedang sibuk di dapur yang bisa terlihat dari tempat duduk kami. Sebagian lainnya mengulek cabai dan bawang.
Ada ikan seperti teri bening sedang siap di penggorengan. Yang menyita perhatian saya ada sebaskom kecil kunyit yang telah digiling. Inilah corak inti sup gangan itu. Menurut yang punya warung, selain kunyit ada pula lengkuas, serai, cabai rawit, bawang merah, terasi, asam jawa, garam dan gula pasir
Jika di suku Bugis atau Makassar mereka menggunakan asam tua untuk membuat menu ikan Pallumara atau Pallukacci, atau di Wakatobi dan Buton menggunakan asam muda sebagai corak Parende, maka di sini mereka menggunakan kunyit sebagai komponen utama. Tentu saja ikan sebagai intinya.
“Menu gangan, tak afdol tanpa ikan goreng kecil ini,” kata Hardy sembari menunjuk ke ikan yang telah digoreng. Menurut Ishak, namanya ikan Bebulus, khas sungai atau muara di Belitung. Kalau digoreng garing, renyah, citarasanya sangat khas. Selain itu terdapat pula semacam lalapan dari daun serupa pepaya dan dua iris timun. Inilah menu komplit gangan khas Belitung. Hardy keburu mengingatkan untuk pilihan gangannya.
“Mau yang pedis sekali atau biasa aja?” tanya Hardy. Pedas sedang, jawabku.
Makan siang kami terasa istimewa. Saya yang memang telah mengosongkan perut sejak pagi menuntaskan gangan pedis dengan lahap. Aroma dan rasa kunyit sangat dominan bergantian dengan kegurihan ikan sejenis kakap.
Menurut Ishak, orang Belitung kerap memanfaatkan ikan Napoleon (nama lokal, Ketarap) sebagai obyek menu gangan, meski telah dilarang eksploitasinya. Selain itu ada pula jenis ikan ilak dan libam atau beronang. Siang itu, saya dapat bagian kepala dan bagian tengah ikan kakap. Penutupnya adalah jus jeruk panas.
Makan menu gangan ini sangat terasa pedasnya. Saat mengunyah nasi, sesekali kami mencocol sambel yang juga telah disiapkan. Ada timun dan daun lalapan serasa daun pepaya. Rasa gangan ini amat berbeda dengan Pallumara atau Parende dari Sulawesi. Rasa nambah. Hehe.
“Meski tetap pedas, saya suka aroma kunyitnya, ini obat karena dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan menurunkan tekanan darah.” Kataku ke Hardy dan Ishak. Siang yang sempurna. Ketika saya hendak membayar ke pemilik warung Ibu Sri, Ishak, yunior saya di Kelautan Unhas ternyata telah lebih dulu menuntaskannya.
Thanks!
*Foto dokumen pribadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI