Tome Pires seorang Portugis penjelajah menorehkan kesannya tentang tempat kapal bersauh bernama Kalapa di pesisir Java. Menurutnya, Kalapa adalah pelabuhan terbesar di Jawa selain Sunda (Banten). Dia besar dan strategis karena merupakan pelabuhan transit berbisnis rempah-rempah. Armada Cina, Jepang, India, dan Timur Tengah telah berlabuh di sini dengan membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, wangi-wangian, kuda, anggur dan zat pewarna untuk dibarter rempah Nusantara.
Pelabuhan itu kini bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan yang menjadi muara perjuangan anak bangsa, menjadi wahana bagi yang membutuhkannya secara berkelanjutan. Kini, Sunda Kelapa dikelola PT Pelindo dan diperuntukkan bagi armada dan kru kapal yang tidak berserfiikat internasional alias hanya melayani pelayanan jasa kapal antar pulau. Sunda Kelapa memiliki luas daratan 760 hektare serta luas perairan kolam 16.470 hektare. Terdapat dua bagian yaitu pelabuhan utama dan pelabuhan Kalibaru. Pelabuhan utama mampu menampung 70 perahu layar motor (PLM) sedang Pelabuhan Kalibaru menampung sekira 65 kapal antar pulau.
Tulisan berikut bermaksud membagikan setangkup kekisah orang-orang yang memanfaatkannya kini. Orang-orang biasa yang masih menjadi bagian dari sejarah panjang Sunda Kelapa. Tidak mengorek kisah heroik berbumbu perang tetapi kisah para pelaut yang ditemui pada tanggal 7 Februari 2016. Kisah orang-orang biasa.
***
Siang itu Jakarta terik nian, seperti sedang dipanggang bara. Matahari bak bertengger di ubun-ubun ketika saya bersama ratusan penumpang kereta keluar dari underpass stasiun Jakarta Kota. Saya lalu memesan Gojek. Saya sungguh ingin melihat suasana Pelabuhan Sunda Kelapa yang terkenal itu. Yang diceritakan banyak orang tentang kehebatan pelaut-pelaut melayarkan kapal pinisi dari Sulawesi Selatan dan berlabuh di sini nun lampau.
Saya tiba di pelabuhan pukul 13.30 waktu Sunda Kelapa. Sang Gojek rupanya ingin membawa saya ke deretan kapal besi. Dia kira saya ABK yang sedang ingin kembali ke kapalnya. Saya berbelok ke deretan kapal-kapal kayu yang berukuran sangat besar. Kapal-kapal serupa ini juga ada di Paotere, Makassar namun karena ini Jakarta, rasanya melihat kapal kayu Pinisi masih bertahan di kota metropolitan rasanya sungguh membahagiakan sekaligus membanggakan.
Selain menjadi bukti daya tahan budaya maritim, juga menjadi bukti bahwa tradisi melaut yang dipertontonkan pelaut-pelaut dari Sulawesi Selatan sungguh luar biasa.
Saya tak langsung mengambil foto deretan perahu tersebut tetapi menyapa dua orang yang sedang berlindung di sisi bangunan. Serupa gudang. Saya memperkenalkan diri. Mereka memberi senyum dan menyebutkan namanya, Asdir dan Sandi.
Asdir adalah pelaut yang baru saja bergabung dengan KM Berkat Nikmaturrahmah. Sementara Sandi adalah petugas yang dimandat oleh pemilih ekspedisi. Tugas Sandi adalah membuka terpal barang seperti semen dan barang-barang lainnya. Dia nebeng dengan truk pengangkut barang-barang tersebut.
“Baru pulang dari Jambi. Kosong tak ada muatan. Ke sananya bawa semen,” kata Asdir, pria yang duduk di samping saya. Kami duduk di atas papan kemudi kayu yang sudah tak dipakai lagi. Panjangnya sekitar dua meter. Asdir adalah ABK PLM. Berkat Nikmaturrahmah. “Kapal ini taksirannya sekitar 700 ton,” jawab Sandi mengenai bobot perahu pinisi tersebut.
“Saat ini saya bertugas membuka terpal penutup saat barang akan dipindahkan ke kapal. Tapi dulu saya pelaut juga,”sambung pria asal Lombok Barat ini. Semasa melaut, Sandi pernah ke Jambi dan Aceh. Sedangkan Asdir adalah newbie di Berkat. Kalau Asdir ke Jambi, maka Sandi mengaku hanya ke Kalimantan, tepatnya di Batulicin. Menurut Asdir, saat ke Jambi beberapa minggu lalu dia membawa semen namun kembalinya tak muat apa-apa. Asdir di kapal itu bersama 8 ABK lainnya. Asdir tak ingat nama pemilik kapal itu.