Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prahara Negara Maritim

21 Juni 2011   04:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:19 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_117856" align="alignleft" width="300" caption="Agus, 20th duduk bersimpuh di atas pasir (Foto: Kamaruddin Azis)"][/caption] Pulau Barrang Lompo hanya berjarak beberapa mil laut dari lokasi proyek mercusuar Center Point of Indonesia (CPI), proyek ambisius yang kelak akan menelan triliunan dana publik di lekuk Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 15 Juni 2011, di pulau berpenduduk lebih lima ribu jiwa itu, Rodaan Al Galidi penyair kelahiran Irak yang berdomisili di Belanda duduk mematung. Di atas tumpukan batu karang, dia memandang lirih ke Agus, anak muda usia 20 tahun yang sedang bersimpuh layu di atas hamparan pasir. Matahari membakar punggungnya, dia dijemur dengan harapan pulih namun peluangnya sangat tipis. Dia akan kehilangan masa depannya. Rodaan dan delapan penulis asal Australia, Amerika, Belanda, Ethiopia, Mesir dan Turki, berkunjung ke pulau dalam wilayah administratif Kota Makassar. Kota yang dibangun dari jejak sejarah maritim cemerlang imperium Gowa nun jauh dahulu. Para penulis datang dan berbagi cerita dengan warga, sekaligus menawarkan cermin. Rodaan menelisik, “jika benar ada ratusan Agus lain di pulau ini, mengapa tiada upaya menahan untuk mengulang tindakan yang sama?” Ada fakta terpapar. Ada refleksi mengais luka. Luka yang selama ini tertutup oleh dusta angka-angka sukses pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau, kerlip narasi prestasi yang buat silau para penguasa hingga alpa mengakui ketimpangan perlakuan horizontal. Ada issu pembangunan yang vis-a-vis, antara pertumbuhan populasi yang melesat kencang dan daya dukung ekologi yang semakin terbatas, pelik kompetisi dan migrasi pemanfaatan sumberdaya hingga ke perairan jauh. Pulau-pulau sempit yang semakin sesak. Imbasnya, konflik pemanfaatan ruang dalam pulau serta di setiap titik perairan, tempat di mana nelayan mencari hasil laut. Warga mengail sumberdaya laut dengan bom ikan, membius, merusak terumbu karang, hingga konflik antar nelayan bahkan konflik antar negara seperti pembakaran perahu-perahu nelayan asal pesisir Sulawesi, di Ashmore Reef, Australia beberapa waktu silam menjadi sejarah kehidupan mereka. Belum lagi krisis lingkungan pesisir seperti sedimentasi yang tinggi di muara, abrasi pantai yang menelan pemukiman, pencemaran laut dan ancaman climate changes yang menyulap tinggi air. Warga dan ekosistem sedang mengintai satu sama lain. Ada kompetisi pemanfaatan yang berujung pada penderitaan warga. Begitulah sisi lain Indonesia, negara maritim yang hanya indah di atas kertas perencanaan dan panggung-panggung megah birokrasi yang rentan, nirdaya dan memprihatinkan. Pemerintah yang tidak sensitif krisis, juga lalai dari tanggung jawab. Pergeseran Nilai Prahara dan ancaman sosial masa depan pesisir Indonesia dapat ditarik linier dari kompleksitas issu di pulau Barrang Lompo serta kisah si lumpuh. Issu tanpa rencana aksi sekaligus potret ketidakmampuan warga keluar dari belitan ekonomi dan lalainya negara mengamankan warga (social safety) dan ekosistem. Spektrumnya luas dan kita bahkan tidak pernah membaca argumentasi yang pas dari pemerintah, di mana dan untuk apa mereka ada? Mengapa begitu tak peduli pada derita warga, lebih memilih membesarkan kroni dan pseudo-kuasanya sendiri? Ekosistem pesisir (coastal ecosystem), terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea grass) tempat warga menangguk ikan, udang dan kekerangan sejak turun temurun kini kosong melompong. Untuk mendapatkannya lagi nelayan menempuh cara instan. Jika tidak, mereka harus jauh berkelana. Sumberdaya telah bergeser dan tergerus karena rejim “ekonomi” mengekstraksi mereka dari memberi makan sanak keluarga “subsisten” menjadi pemberi makan pengusaha perikanan, untuk pasar yang rakus. Sumberdaya lokal punah, hingga mereka merangsek bahkan menembus batas negara dan keselamatan diri. Jargon kolaborasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut hanya laku di meja-meja seminar dan lokakarya. Organisasi sosial berbasis kekerabatan lokal, seperti sistem punggawa-sawi (patron client), mengalami pembengkakan fungsi. Dari sekadar memenuhi keamanan anak buah kapal (ABK) dan keluarga (clients) kini mesti memenuhi tuntutan pengembalian modal oleh pengusaha, kreditor dan eksportir ikan.  Kerjasama sosial yang dulu efisien mengurangi biaya produksi kini bergeser menjadi padat kapital. Kekerabatan dan jaminan sosial khas pesisir lambat laun sirna. Di kepulauan Selayar, tradisi Panglima Menteng yang membatasi penangkapan kerang dan lola, tiada lagi. Di Maluku, tradisi Sasi perlahan dilupakan, di Aceh struktur organisasi Panglima Laot yang sejatinya mengutamakan solidaritas sosial di laut bergeser menjadi alat memobilisasi dukungan politik praktis. Di pesisir terjadi pergeseran fungsi sumberdaya-organisasi-norma, terjadi perubahan kualitas dan kuantitas yang ekstrim. Bukti bahwa pemerintah belum memberikan apa-apa. Sementara pada tingkat entitas warga, mereka terlena untuk keluar dari sengkarut yang berkelindan dalam ragam dimensi kehidupannya. Pesisir dan laut sebagai wahana kebudayaan, interaksi sosial, tabungan masa depan generasi di ambang konflik pemanfaatan. Tuntutan untuk bertahan hidup membuat warga pesisir tak punya banyak alternatif lain. Organisasi masyarakat sipil pun nyaris tak punya strategi. Wilayah pesisir yang kompleks dan rentan itu sejatinya membutuhkan kolaborasi pengelolaan, sesuatu yang mudah diucapkan tapi sulit diejawantahkannya. Karena 70 persen rakyat Indonesia berdiam di wilayah pesisir, maka sangat penting bagi penentu kebijakan plus perencana, untuk merujuk ke fakta fundamental seperti terpapar di atas, sebagai bahan kritik atas pendekatan pembangunan pesisir dan laut selama ini yang simplistik dan kehilangan substansi. Mestinya, anggota rumah tangga (household), harus jadi unit analisis pembangunan, bukan misi periodik rejim yang kerap bias dan karikatif. Karena keselamatan setiap lapis warga adalah tangggung jawab negara maka pendekatan pembangunan pesisir dan pulau-pulau haruslah komprehensif. Mengumbar janji anggaran pembangunan yang besar dan kemegahan prasasti maritim tanpa merujuk ke orang perorang seperti korban lumpuh penyelaman itu, pasti omong kosong belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun