Bersama kedua anak saya, Intan dan Donnie, kami baru saja pulang dari jalan pagi di sekitar pusat instalasi penjernihan air Somba Opu, poros Jalan Malino, Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka sempat foto-foto di depan area PDAM namun mereka akhirnya kecewa saat hendak minta izin dipotret di dekat air mancur kompleks. Satpam melarangnya dengan alasan mesti ada izin dari pimpinan. Jarum waktu 07.30 di kompleks perumahan kami. Saat mengarah ke rumah, seorang wanita mengenakan rok merah hati kusam dan baju ungu sedang duduk santai di pos ronda, selebar dua meter dengan tangga beranak tunggal di sebelah kiri jalan. Di samping kirinya terdapat kotak plastik berisi kue. Awalnya, saya ingin memotretnya tapi kemudian urung. Saya mendekat. Saya kira, mengobrol langsung lebih asik dibanding memotretnya. Wanita tua dengan tutup kepala khas umumnya wanita itu sedang memilah uang receh dan kertas. Uang putih dan perak. Dia duduk dengan kaki kiri dilipat di atas paha. Kedua jemarinya sibuk menggeser jenis uang. Sangat santai. “Pas lima puluh ribu rupiah,” Katanya saat saya tanyakan berapa uang hasil jualannya hari ini. *** Sudah lima tahun ini Jintu (atau Daeng Jintu) mondar mandir antara kompleks perumahan Nusa Tamarunang, Somba Opu Gowa dengan rumahnya di Jalan Matahari, Kallongtala. Dia tinggal di belakang rumah sakit terbesar di Kabupaten Gowa itu. “Bukan rumah yang layak karena saya menumpang di sela rumah dan pagar orang lain,” Aku Jintu. Sejak ditinggal mati suaminya yang didera sakit paru-paru Jintu lebih memilih tinggal sendiri. “Saya tinggal di rumah reot tapi ya, begitulah,” sambungnya. “Saya punya empat anak dengan 16 cucu, eh ada juga enam cucu buyutku (cucu kulantu, bahasa Makassar),” Terangnya. Keempat anaknya tinggal di kabupaten di selatan Makassar. Suaminya orang Bugis. Jintu lahir dan besar di Kampung Samata, Gowa. Dia mengaku berumur 75 tahun dan asli Makassar. Salah satu alasannya tinggal sendiri karena dia mau berusaha sendiri. ”Saya mau berusaha sendiri, meski harus menumpang tinggal di pekarangan orang. Rumah yang sebenarnya tak layak. Saya ingin berusaha sendiri,” Tegasnya. Di usia yang mulai renta, wajah Jintu masih kencang. Hanya di sekitar daerah matanya yang berkerut. Pipi dan dagunya masih licin. “Saya suka jalan kaki sejak tinggal di Samata. Sejak puluhan tahun lalu,” Ungkapnya. “Hari ini saya dapat pas lima puluh ribu rupiah,” Ungkap Jintu. Dari jumlah kue yang dibawanya hari ini Jintu akan dapat uang sepuluh ribu rupiah karena dari perjanjiannya dengan penjual kue dia dapat mengutip dua ratus lima puluh dari harga kue Rp.750,- yang dipatok pembuatnya. Pagi ini dia bawa kue lima puluh biji. Masih ada sepuluh di kotak kuenya. “Kue ini dibikin oleh kakak-beradik. Dia mahasiswa di IKIT, (maksudnya IKIP – kini UNM),” Terangnya tentang pembuat kue yang dia jajakan. Hari dia menikmati jerih payahnya setelah menempuh jalan kaki dari rumahnya ke kompleks kami. Jaraknya sekitar empat kilometer atau delapan kilometer setiap pagi. Hari ini dia tinggalkan rumahnya setelah shalat shubuh. Dia mulai menjajakan kue sepanjang jalan menuju kompleks kami. Pagi ini, setelah memisahkan uang kertas dan koin, kini dia bersiap untuk jalan lagi. “E..eee.....dona’…putu…, dadarak…” Teriaknya. Masih ada lima kue putu, dadar enam gulung dan donat. Juga sekantung beras dalam plastik putih. Beras yang diberikan cuma-cuma oleh pelanggannya. Jintu yang semampai ini, dengan kaki telanjang berbelok ke arah barat kompleks perumahan. Sepertinya, Jintu percaya, di usia rentanya ini, rezeki dan masa depan memang harus dijajal. Makassar 06072010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H